Ia memastikan bahwa pemotongan total kompensasi yang diterima pegawai sebagai imbalan atas jasa yang dikerjakannya itu tidak berdasar hukum karena tidak diatur dalam SK Gubernur Nomor 916 Tahun 2013 yang menetapkan UP Perparkiran sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), dan juga tidak diatur dalam SK Gubernur Nomor 531 Tahun 1979 tentang Pertanggungjawaban kepada Gubernur dan Sekretaris Daerah yang menjadi acuan sistem kerja UP.
“Justru SK Gubernur Nomor 916 mengatur bahwa pegawai UP yang terdiri dari PNS dan non PNS itu setiap bulan tidak hanya menerima gaji, tapi juga remunerasi,” imbuhnya.
Lebih jauh dijelaskan, pada Agustus 2016 UP parparkiran menerima pelimpahan 35 dari 155 titik parkir PD Pasar Jaya, di antaranya yang berlokasi di Pasar Santa, Pasar Jembatan Lima, Pasar Pramuka dan Pasar Klender.
Akibat tidak dikaji lebih dulu, pengelolaan ini merugi, sehingga total remunerasi 278 pegawai tetap UP yang dipotong karena masalah ini dan karena temuan BPK serta kerugian pada pelaksanaan sistem TPE, untuk staf dan kordinator lapangan mencapai Rp2 juta/orang, sementara untuk asisten manajer dan manajer operasional antara Rp 2 juta hingga Rp 6 juta/orang.
Amir menilai, pemotongan ini merupakan bentuk ketidakbertanggung jawaban kepala UP Perparkiran.
“Kalau ada temuan dari BPK maupun jika sebuah sistem gagal, maka itu tanggung jawab pimpinan. Bukan anak buah yang dikorbankan seolah dia sama sekali tidak melakukan kesalahan,” tegasnya.
Data yang diperoleh ketua Budgeting Metropolitan Watch (BMW) ini juga menyebut kalau diduga ada korupsi di UP Perparkiran, karena saat membeli 201 unit TPE untuk parkir on street di jalan-jalan tertentu di Jakarta, BLUD ini menghabiskan dana hingga Rp25 miliar karena setiap unit TPE dibeli dengan harga Rp143 juta.
Dugaan ini muncul karena untuk pembelian sebanyak itu biasanya ada diskon dari pabrikan minimal 10%, dan juga biasanya ada fee sekitar 2,5%. Namun untuk pembelian produk Malaysia tersebut keduanya tak ada.






