Poin di Balik Kematian Gunung Agung, Toko Buku Legendaris

oleh
oleh

Pertama, Toko Buku Gunung Agung bangkrut sebab bisnisnya terus merugi dan tidak lagi mampu bersaing. Beroperasi lebih dari 70 tahun di bidang percetakan dan penerbitan, akhirnya Gunung Agung menyerah dan mati. Menyusul Toko Buku Togamas yang pernah terkenal di Yogyakarta dan Malang. Toko Buku Gunung Agung terpaksa “lempar handuk” akibat gagal beradaptasi dengan perubahan zaman. Ironis sih, sementara tiket konser Coldplay sejumlah 50.000 kursi yang dijual dari Rp. 800 ribu hingga Rp. 11 juta habis terjual dalam 1,5 jam. Bukti, buku-buku makin tidak digemari dan terpinggirkan.

Kedua, kematian Toko Buku Gunung Agung memberi sinyal kuat toko buku konvensional bakal bertumbangan ke depan. Di waktu yang sama, buku-buku bajakan kian merajalela. Buku bajakan bakal mendominasi di toko online, toko buku lapakan, atau di penerbit instan. Penulis pun jadi makin malas-lah menulis buku lagi. Buku dan literasi kian tidak jelas, terperosok ke “rimba raya” yang sama sekali tidak dipedulikan lagi. Regulasi perbukuan hampir “lumpuh” dan tidak berdaya lagi.

Ketiga, tutupnya Toko Buku Gunung Agung jadi sebab di-PHK-nya 350 pekerjanya. Sementara perusahaannya merugi dan bangkrut, tapi tetap harus membayar uang pesangon sesuai regulasi yang berlaku di ketenagakerjaan. Ibarat pepatah “sudah jadtuh tertimpa tangga pula”. Kejadian ini harus jadi pelajaran. Betapa pentingnya perusahaan atau pemberi kerja dan pekerja memiliki program pensiun seperti Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Sehingga pada saat terjadi PHK atau pensiun, uang pesangon atau uang pensiun yang harus dibayarkan perusahaan sudah tersedia. Agar tidak lagi jadi “beban” keuangan manakala perusahaan dalam kondisi kesulitan cash flow atau bisnis yang merugi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.