Pengamat hukum Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, mengkritisi hilangnya beras medium dan premium di sejumlah pasar ritel modern. Ia menilai kondisi ini sangat janggal, apalagi jika dikaitkan dengan data resmi produksi beras yang menunjukkan ketersediaan nasional mencukupi bahkan surplus.
“Ini sangat aneh karena data resmi BPS menunjukkan stok beras nasional mencukupi, tetapi di pasar ritel justru langka. Satgas Pangan dan stakeholder terkait cendrung seolah tidak bertindak. Padahal ini menyangkut kebutuhan pokok rakyat,” tegas Azmi dalam keterangannya di Jakarta, Senin, (8/9/25).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produksi beras Indonesia sepanjang Januari–Oktober 2025 diperkirakan mencapai 31,04 juta ton, naik 12,16% atau sekitar 3,37 juta ton dibanding periode sama tahun lalu. Kenaikan ini didukung oleh peningkatan luas panen menjadi 10,22 juta hektare. Dengan kondisi tersebut, ketersediaan beras nasional surplus 3,7 juta ton dari kebutuhan konsumsi.
“Kalau suplai nasional aman, lalu disisi lain beras hilang di ritel, ini patut diduga bisa jadi ada praktik penimbunan, pengalihan distribusi, permainan harga, dan tata niaga oleh jaringan mafia pangan. Fenomena ini juga mencerminkan lemahnya pengawasan atas data produksi dan distribusi beras di lapangan. Semua itu jelas merupakan perbuatan tindak pidana yang merugikan perekonomian negara,” tegas Azmi.











