Ia juga menyampaikan pandangan kritis yang diarahkan pada lemahnya koordinasi antarinstansi. Taman Nasional Komodo berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), namun aktivitas kapal diatur oleh Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) di bawah Kementerian Perhubungan. Di sisi lain, kawasan ini telah ditetapkan sebagai destinasi wisata super prioritas oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sementara itu, perlindungan ekosistem laut berada dalam kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
“Ini tidak bisa hanya berhenti pada penahanan kapal atau nakhodanya. Empat kementerian harus bergerak bersama serta seirama. Tidak bisa terdapat “Empat Nakhoda dalam satu kapal”, bingung nanti kapalnya mau dibawa kemana. Harus ditentukan siapa yang menjadi penentu kebijakan dan penanggung jawab atas penegakan aturan disana. Kalau tidak, kita hanya akan terus mengulang kesalahan yang sama,” kata Capt. Hakeng. Ditambahkan lagi olehnya bahwa secara hukum, insiden ini berpotensi masuk ranah pidana serta perdata lingkungan. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan kerusakan lingkungan wajib bertanggung jawab.
Juga, tambah Capt. Hakeng, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya mengatur sanksi bagi tindakan yang merusak ekosistem dalam kawasan taman nasional. “Negara memiliki dasar hukum yang kuat untuk menindak. Penegakan hukum bukan untuk menghukum pelaku semata, tetapi untuk menyelamatkan integritas lingkungan dan memastikan kekayaan alam kita ini tetap bisa dinikmati oleh anak cucu kita kedepan,” jelas Capt. Hakeng.
Namun, ia mengingatkan bahwa penegakan hukum harus dibarengi reformasi tata kelola wisata laut. Banyak operator wisata, menurutnya, lebih mengejar keuntungan tanpa memahami aturan konservasi. Pelatihan bagi nakhoda kapal tentang teknik berlabuh jangkar ramah lingkungan, zonasi karang, dan pengetahuan mengenai arus laut masih terasa sangat minim. Pemerintah daerah pun masih terlihat lebih gencar membangun bandara, hotel dan dermaga daripada mengutamakan kepastian perlindungan ekosistem laut yang justru menjadi alasan wisatawan datang, kedepan saya mengharapkan fokus Pemerintah Daerah bisa dibagi juga terkait kepastian perlindungan lingkungannya.







