Taman Nasional Komodo “Terluka”: Karang Dirantai Jangkar Kapal Apik, Capt. Hakeng Desak Sanksi Pidana dan Perdata Lingkungan.

oleh
oleh

Capt. Hakeng mendorong KLHK melakukan audit ekologis dan pemulihan kawasan terdampak melalui restorasi aktif seperti transplantasi karang. Ia juga mendorong dipasangnya mooring buoy oleh KKP di seluruh lokasi wisata selam. Kementerian Pariwisata disebutnya pula perlu menetapkan standar sertifikasi wisata bahari lestari, sementara Kementerian Perhubungan wajib memperketat izin kapal wisata dan menerapkan teknologi pelacakan posisi kapal secara real-time untuk mencegah kapal masuk ke zona terlarang.

Selain pemerintah pusat, ia juga menilai peran masyarakat lokal sangat vital. “Nelayan, pemandu selam, komunitas adat, mereka semua bisa menjadi penjaga ekosistem jika diberi pelatihan cukup, kewenangan dan akses pelaporan yang jelas. Mereka tinggal dan bergantung pada laut, mereka adalah garda terdepan,” ujarnya.

Dari semua itu yang tidak kalah pentingnya pula, tambah Capt. Hakeng, adalah citra bangsa sebagai negara maritim yang bertanggung jawab. “Kita selalu bicara sebagai Poros Maritim Dunia. Tapi bagaimana mungkin dunia menghormati kita jika menjaga terumbu karang milik bangsa sendiri saja kita gagal? Bagi Bangsa Maritim, Laut bukan halaman belakang, tapi beranda utama,” tandasnya.

Capt. Hakeng mengajak semua pihak melihat insiden kapal Apik bukan sekadar sebagai peristiwa hukum, tetapi sebagai momentum perubahan. “Ini harus menjadi titik balik. Pemerintah jangan hanya hadir saat promosi wisata, tapi juga saat laut terluka. Pelaku wisata harus sadar, karang bukan batu mati, tetapi rumah kehidupan. Dan kita semua harus bertanya, apakah kita masih punya keberanian untuk berubah sebelum laut kehilangan suaranya,” imbuh Capt. Hakeng.

No More Posts Available.

No more pages to load.