Perlu kami tegaskan bahwa gugatan ini diajukan setelah adanya PPR Dewan Pers, mekanisme etik resmi negara untuk menyelesaikan sengketa pemberitaan. PPR itu memberikan rekomendasi yang oleh pihak Kementan dinilai menunjukkan adanya pelanggaran dalam pemberitaan Tempo.
Namun Tempo kemudian menyampaikan pernyataan publik bahwa mereka telah “melaksanakan PPR”. Faktanya tidak demikian. Apa yang dilakukan Tempo tidak sesuai dengan substansi dan kewajiban yang tercantum dalam PPR Dewan Pers.
Tempo memilih menafsirkan PPR secara sepihak dan menyusun narasi seolah-olah telah taat, padahal tindakan yang dilakukan tidak memenuhi standar yang diwajibkan oleh PPR tersebut.
Alih-alih melaksanakan PPR secara utuh dan benar, Tempo justru membuat versi PPR tandingan yang tidak punya dasar etik maupun legal, lalu menyampaikan narasi kepada publik bahwa mereka sudah patuh. Hal inilah yang membuat penyelesaian etik tidak tercapai, sehingga jalur hukum menjadi pilihan terakhir untuk memastikan kebenaran diuji secara objektif.
2. Gugatan Ini Adalah Sikap Membela dan keberpihakan atas ikhtiar 160 Juta Petani Indonesia mendukung kemandirian pangan nasional
Puncak kekecewaan publik datang ketika Tempo menerbitkan infografis “poles-poles beras busuk” dengan gambar karung berlubang dan terdapat gambar kecoa (binatang) Infografis ini mungkin dimaksudkan sebagai satire, tetapi bagi petani Indonesia, ini adalah penghinaan dan menyakitkan.
Beras bukan sekadar komoditas. Ia adalah hasil keringat, malam-malam panjang menjaga sawah, dan harapan keluarga desa. Menyebutnya “busuk” dengan ilustrasi (binatang) kecoa berarti merendahkan martabat 160 juta petani dan keluarganya. Ini mencederai moral penyuluh, operator alsintan, pegawai lapangan, dan seluruh pihak yang menjaga rantai pangan nasional. Karena itu, gugatan Mentan bukan hanya soal jurnalistik. Ini adalah sikap moral untuk membela harga diri para petani yang memberi makan bangsa ini.










