Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah menilai Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung bersikap plin-plan terkait proyek Refuse Derived Fuel (RDF) Rorotan di Jakarta Utara. Proyek pengolahan sampah senilai Rp1,27 triliun itu dinilai gagal memberikan manfaat dan justru menimbulkan polemik di tengah masyarakat.
Trubus menyoroti tiga kali uji coba operasional RDF Rorotan yang selalu mendapat penolakan dari warga karena menimbulkan bau menyengat dan gangguan kesehatan.
“Ada apa dengan RDF Rorotan? Sepertinya hukum dan aturan tidak berlaku di sana,” kata Trubus kepada Info Indonesia, Sabtu (8/11/25).
Menurutnya, publik kebingungan dengan sikap Pramono yang terkesan membela proyek besar peninggalan Pj Gubernur Heru Budi Hartono tersebut.
Proyek RDF Rorotan mulai dilaksanakan pada awal 2024 dan dijadwalkan selesai pada 31 Desember 2024. Berdasarkan data Badan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (BPBJ) DKI Jakarta, proyek ini diikuti sembilan perusahaan asing dan satu konsorsium dalam negeri, yaitu PT Wijaya Karya (Wika), PT Jaya Konstruksi (Jakon), dan PT Asiana Tekhnologi Lestari (ATL), dengan nilai kontrak Rp1,284 triliun.
Direktur PT ATL, Poltak Sitinjak, pernah menjelaskan bahwa teknologi yang digunakan merupakan hasil inovasi anak bangsa yang mampu mengolah hingga 2.500 ton sampah per hari tanpa proses pemilahan manual.
“Teknologi ini bisa memilah dan mencacah sampah otomatis hingga menjadi bahan bakar untuk industri semen,” ujar Poltak pada 2024 lalu.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI, Asep Kuswanto, menambahkan bahwa hasil RDF akan dijual ke industri semen dengan harga USD 24–44 per ton sebagai tambahan pendapatan daerah.







