Soeharto tidak hanya meninggalkan catatan buruk soal korupsi, tetapi juga catatan hitam tragedi kemanusiaan.
Peristiwa Tragedi 1965–1966 menjadi noda terbesar dalam sejarah bangsa: ratusan ribu warga yang dituduh komunis dibunuh tanpa proses hukum. Banyak di antaranya hanyalah petani, buruh, atau guru biasa yang menjadi korban fitnah politik.
Tragedi serupa terjadi di Timor Timur, Aceh, dan Papua wilayah yang menjadi saksi penderitaan rakyat akibat operasi militer. Laporan berbagai lembaga HAM, termasuk Amnesty International dan Komnas HAM, menunjukkan pola kekerasan yang sistematis dan terencana.
Pahlawan seharusnya mengorbankan diri untuk rakyat, bukan menumpahkan darah rakyat demi kekuasaan.
Tidak Sesuai Kriteria Pahlawan Nasional
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, pahlawan nasional adalah seseorang yang:
1. Berjasa luar biasa bagi bangsa dan negara.
2. Memiliki integritas moral tinggi.
3. Tidak pernah melakukan tindakan tercela atau mencederai perjuangan bangsa.
Jika diukur dengan kriteria ini, Soeharto tidak memenuhi syarat moral maupun hukum. Ia mungkin berjasa dalam bidang tertentu, tetapi dosa politik dan kemanusiaannya jauh lebih besar dari jasanya.
Menobatkannya sebagai pahlawan bukan hanya penghinaan terhadap para korban, tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang diperjuangkan bangsa ini.
Bahaya Melupakan Luka Sejarah











