Masalah utama bangsa ini bukan hanya korupsi atau pelanggaran hukum, melainkan amnesia sejarah. Kita terlalu mudah melupakan penderitaan masa lalu dan terlalu cepat memaafkan tanpa mengadili.
Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan berarti membiarkan sejarah ditulis ulang oleh kepentingan politik kekuasaan,, bukan oleh kebenaran.
Sejarah tidak boleh ditulis oleh mereka yang berkuasa, tetapi oleh nurani rakyat yang pernah menjadi korban. Generasi muda perlu diajak memahami bahwa pembangunan yang dicapai melalui penindasan bukanlah kemajuan, melainkan penjajahan dalam bentuk baru.
Hormati Kebenaran, Bukan Kekuasaan
Soeharto memang bagian penting dari sejarah bangsa, tetapi ia bukan teladan moral dan kemanusiaan.
Mengakui kesalahannya bukan berarti menolak sejarah, melainkan menegakkan kebenaran sejarah itu sendiri.
Jika gelar pahlawan diberikan tanpa menimbang nurani dan keadilan, maka gelar itu kehilangan maknanya.
Karena itu, untuk menghormati jutaan rakyat yang menjadi korban rezim Orde Baru, Soeharto tidak layak disebut pahlawan. Yang layak kita kenang sebagai pahlawan adalah mereka yang melawan ketakutan, membela keadilan, dan menjaga agar kebenaran tidak dikubur oleh propaganda.
Meskipun Soeharto berperan dalam pembangunan infrastruktur, stabilitas politik, dan swasembada pangan pada masa tertentu, jejak pelanggaran HAM, pembungkaman demokrasi, dan korupsi besar-besaran membuatnya tidak layak dianggap sebagai pahlawan nasional.
Ia lebih tepat dipandang sebagai tokoh kontroversial yang meninggalkan warisan kompleks antara pembangunan dan penindasan..






