Oleh: Bachtiar Effendy. S.I.Kom
Wakil Ketua Gerakan Relawan Indonesia.
Saat Ingatan Dipaksa Lupa
Setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Di berbagai tempat, kita melihat upacara, baliho, dan pidato tentang semangat perjuangan. Namun, di balik semua seremoni itu, muncul pertanyaan sederhana tapi penting: siapa sebenarnya pahlawan sejati
Setiap kali wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto mencuat, publik kembali dihadapkan pada pertanyaan moral: apakah seorang pemimpin otoriter yang sarat pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, dan pembungkaman kebebasan pantas disebut pahlawan?
Jawabannya tegas: tidak layak.
Soeharto memang tokoh besar dalam sejarah Indonesia, tetapi besar tidak selalu berarti mulia. Ia adalah simbol kekuasaan lama yang diwarnai dengan ketakutan, darah, dan kebohongan yang menumpuk selama lebih dari tiga dekade.
Warisan Pahit di Balik “Pembangunan”
Tak bisa dipungkiri, pada masa awal pemerintahannya, Indonesia sempat mengalami pertumbuhan ekonomi pesat. Infrastruktur dibangun, swasembada pangan dicapai, dan stabilitas politik relatif terjaga. Namun, semua pencapaian itu memiliki harga sosial yang sangat mahal.
Di balik slogan “pembangunan nasional”, Soeharto menjalankan politik otoriter dan militeristik. Demokrasi dipangkas menjadi formalitas belaka. Pers dikontrol ketat, partai politik dilebur demi “stabilitas”, dan suara kritis dibungkam. Mereka yang berani berbeda pandangan dicap musuh negara, disingkirkan, bahkan dipenjara tanpa pengadilan.
Pembangunan ekonomi yang sering dibanggakan itu pun ternyata rapuh, karena berakar pada korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kekuasaan ekonomi terpusat di tangan keluarga Cendana dan kroni-kroninya. Transparency International (2004) mencatat, Soeharto diduga menyelewengkan dana negara sebesar US$ 15–35 miliar, menjadikannya salah satu pemimpin paling korup di dunia.
Darah di Balik Kekuasaan







