Suharto: Gelar Pahlawan di Meja Politik

oleh
oleh
Dr. Kemal H Simanjuntak, Konsultan dan Pemerhati Masalah Sosial dan Ekonomi. (dok. Istimewa)

Risiko kebenaran sejarah muncul ketika pahlawan menjadi proyek bersama antara memori dan kepentingan. Saat narasi negara, legitimasi kekuasaan, dan ingatan kolektif yang dipilih bersatu, lahirlah versi resmi dari “kebenaran” versi yang bisa berubah tergantung siapa yang berkuasa.

Dalam kondisi ini, sejarah bukan lagi cermin, melainkan catwalk tempat kekuasaan memamerkan busana moralnya. Siapa yang tampak gagah di masa kini, bisa jadi hanyalah aktor yang tampil pada saat yang tepat.

Begitu pula dengan pemanfaatan gelar pahlawan sebagai tunggangan politik dan ekonomi. Gelar bisa jadi seperti sertifikat warisan: dipajang di dinding kampanye, dipakai di baliho, dan dijual dalam narasi nasionalisme kilat. Ada yang memanfaatkan gelar itu untuk legitimasi kekuasaan, ada pula yang menjadikannya daya jual: “Lihat, saya cucu pahlawan, maka pilihlah saya.” Dalam pasar politik dan ekonomi, pahlawan kerap jadi merek dagang—semakin tinggi nilai historisnya, semakin laris pula penggunaannya.

No More Posts Available.

No more pages to load.