Dan di Indonesia, sedikit contoh paling panas muncul ketika wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto kembali mencuat. Bagi sebagian orang, Soeharto adalah figur pembangunan: stabilitas, swasembada beras, dan jalan mulus yang katanya menuju kemakmuran. Namun bagi yang lain, ia simbol represi, korupsi, dan pembungkaman. Di sinilah sejarah menjadi arena tinju moral: satu pihak mengangkat jasa, pihak lain menyorot luka.
Masing-masing membawa dokumen, data, dan tentu—emosi.
Polemik itu memperlihatkan bahwa gelar pahlawan bukan sekadar penghargaan, tapi juga pernyataan politik: siapa yang ingin kita ingat, dan siapa yang ingin kita maafkan. Ketika nama Soeharto dibicarakan dalam konteks kepahlawanan, yang diuji bukan hanya sosoknya, melainkan kedewasaan bangsa ini dalam berdialog dengan masa lalunya. Apakah kita sudah bisa menimbang antara keberhasilan dan pelanggaran tanpa fanatisme? Ataukah kita masih mudah tergoda menjadikan sejarah sebagai alat pemutihan dosa kolektif?
Namun sejarah, meski sering disetir, punya cara sendiri untuk menertawakan manipulasi. Ia menunggu dengan sabar, mencatat siapa yang benar-benar berkorban dan siapa yang hanya berpose. Patung bisa roboh, nama jalan bisa diganti, tapi ketulusan tidak bisa dihapus dari memori rakyat. Karena sejatinya, pahlawan tidak perlu diresmikan untuk dikenang. Ia hidup dalam bisik rasa hormat yang jujur, bukan dalam gemuruh seremoni negara.










