Maka, ketika gelar kepahlawanan diumumkan dengan drum dan spanduk, ada baiknya kita bertanya dengan senyum nakal: “Siapa yang sebenarnya sedang diabadikan—orangnya, jasanya, atau agenda di baliknya?” Sebab sejarah yang sehat tidak takut bercermin, bahkan pada wajahnya yang paling kusut. Dan bila suatu hari bangsa ini belajar tertawa pada kemegahan palsu, mungkin di situlah kita mulai benar-benar memahami arti kata “pahlawan.”
Suharto: Gelar Pahlawan di Meja Politik









