Opini, sketsindonews – 50 tahun freeport kubur leluhur. Kawah biru nan Suci di atas Gunung emas dan tembaga, Wanagon. Itulah satu tempat yang dianggap keramat oleh masyarakat pemilik hak ulayat. Sudah tertimbun bebatuan hasil galian tambang terbuka Grassberg.
Masih banyak lagi situs budaya yang sudah rusak. Bahkan kawasan untuk menokok sagu, mencari ikan. Tanah untuk bercocok tanam. Sebagian telah rusak. Aliran DAS Sungai tertimbun bahkan di tutup
Usai dikubur situs adat dan ruang hidup, freeport kasi kompensasi. Baik berupa CSAR maupun proyek kontruksi tanggul. Pemimpin suku dijadikan karyawan freeport dengan cara memberi mereka proyek kecil kecilan. Solusi? Tidak! Sejahtera? Tidak juga! Kecemburuan diantara masyarakat adat suku adalah prilaku sosial yang terjadi sampai sekarang.
Demi Leluhur
Tidak semua manusia Amungme dan Kamoro terima imbalan dari freeport. Mereka yang lebih menentang keberadaan freeport lantaran merusak tanah leluhur setempat tak mau ada freeport.
Alm. Kelly Kwalik adalah satu diantaranya. Berawal ketika freeport hendak mengoperasikan tambang terbuka grassberg yang tak jauh dari situs keramat Wanagon. Perlawanan pun tak di indahkan. Dikenal dengan perjuangan Amungme. Uskup Moning Hoof kala itu menulis laporanya bahwa ada ratusan penduduk dibunuh pada peristiwa tersebut. Laporan tersebut sampai sekarang tidak dianggap sebagai pelanggaran HAM oleh freeport. Ending dari peristiwa berdarah darah itu ialah dibentuknya dana 1 persen untuk 7 suku. Dana ini dikelola oleh LPMAK di Timika dan Yayasan Binterbusi di Semarang Jawa Tengah.
Perjuangan Kelly Kwalik yang ngotot usir freeport, justru dianggap sebagai ruang bisnis. Ketika Kelly berontak, dianggap sebagai proyek untuk tekan freeport. TNI dan Polisi mulai buka pos pengamanan di sekitar Mile freeport. Sekarang dikenal dengan uang lauk pauk oleh polisi yang diperbantukan disini. Bahkan amarah pejuang Amungme itu juga menghadirkan pengamanan negara bertajuk keamanan PMA.