Hakekat Idul Fitri, Dibalik Kisah Keluarga Ali dan Fatimah

oleh
oleh

Oleh: Letkol Sus Giyanto

TIDAK terasa hari raya Idul Fitri akan segera tiba. moment penting ini sebagai hari kemenangan bagi umat muslim dunia, setelah menempuh puasa Ramadhan selama 30 hari. Sebulan penuh menahan rasa lapar, haus serta menahan nafsu syaithoniah, agar tetap melakukan ibadah puasa. Inilah saat umat Islam kembali ke fitrah (kesucian) seperti anak yang baru dilahirkan.

Selain itu Hari Raya Idul Fitri merupakan perayaan tahunan yang sifatnya syar’i, karena ditetapkan secara syari’at dalam agama. Ini berbeda dengan “Halal Bi halal” yang menjadi budaya Bangsa Indonesia yang telah mengakar, meski banyak memiliki makna positif.

Idul Fitri juga sering kita maknai sebagai Evoria kemenangan setelah berjuang penuh melawan hawa nafsu, dengan berbagai cara. Habit atau kebiasaan tersebut ditandai dengan sesuatu yang menyenangkan bahkan segala kesiapan yang serba ada. Seperti, baju baru, segala makanan, kue dan minuman yang serba lengkap, fasilitas siap, THR banyak, dan sebagainya.

Kebahagiaan lain yang lebih terasa pada moment itu adalah disaat kita bisa berkumpul bersama keluarga melakukan silahturahmi. Namun kondisi saat ini dengan adanya pandemi Covid -19, semua peluang tersebut menjadi kecil karena terbentur dengan protokol kesehatan sebagaimana aturan pemerintah.

Selain itu, memaknai hakekat Idul fitri yang sesungguhnya, adalah dalam sebuah kisah dimasa Rasulullah ﷺ, dimana saat hari raya Idul Fitri dirayakan keluarga dan para sahabat. Mereka semua merayakan hari kemenangan tersebut dengan cara mereka masing-masing. Namun, semuanya diawali dengan Sholat Idul Fitri dipagi hari.

Ada kisah tentang putra dan putri Rasulullah ﷺ menjalani hari raya Idul Fitri. Kisah ini merupakan kisah dari Fatimah, putri Rasulullah ﷺ. Disuatu sore, Ali bin Abi Thalib, suami Fatimah, pulang dari Masjid dengan wajah sedih. Dia memasuki timah kecilnya dengan raut yang murung. Hal tersebut pun disadari oleh Fatimah pun bertanya, “Sebentar lagi kita akan menyambut hari raya. Kenapa kamu berwajah murung, wahai suamiku?”

“Hampir sebulan kita berpuasa menahan lapar dan haus. Segala puji syukur selalu kita haturkan karena Allah masih memberi kita kenikmatan rezeki,” jawab Ali. Fatimah mendengarkan dengan seksama. Lalu curhatan Ali tersebut berbuntut dengan sebuah gagasan dimana seluruh simpanan pangannya harus disedekahkan untuk fakir miskin. Fatimah yang mendengarkan ide dari suaminya pun terdiam. Tidak bisa berkata-kata karena kebesaran hati sang suami.

Tinggalkan Balasan

No More Posts Available.

No more pages to load.