Polemik PKPU No.20 Tahun 2018, Putusan Bawaslu Sidang Adjudikasi Politisi Koruptor

oleh
oleh

Polemik PKPU No.20 Tahun 2018, Putusan Bawaslu Sidang Adjudikasi Politisi Koruptor

Jakarta, sketsindonews – Tanggal 31 Agustus 2018 sepekan yang lalu sepertinya menjadi Jumat keramat bagi politik dan hukum di negeri ini terkait p sidang adjudikasi Bawaslu terhadap para politisi senior Partai Gerindra M. Taufik.

Sebagaimana kita pahami, sejak pemilihan kepala daerah serentak 2018, hingga detik ini (tahapan Pemilu 2019 berjalan), adalah tahun politik.

Menariknya, tahun politik kali ini diwarnai dengan keputusan hukum. Bisa dipastikan hal ini terjadi karena dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, ada penguatan kelembagaan Bawaslu yang signifikan dengan struktur dan kewenangannya, dibanding dengan UU sebelumnya.

Tentu kita semua berharap, hukum akan tetap menjadi panglima di negeri ini, agar demokrasi yang menjadi kebanggaan kita dapat terus berjalan dengan kualitas yang lebih baik. Pada Jumat keramat ini, terjadi dua keputusan penting, tidak terkait secara langsung, tetapi dapat dikait-kaitkan. Ya, masih sekitar politik, pemilu, dan isu korupsi.

Di Kuningan, kantor KPK, politikus Golkar, mantan Menteri Sosial ditahan KPK setelah menjalani pemeriksaan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.

Bawaslu DKI Jakarta, dalam sidang adjudikasi ditetapkan putusan Bawaslu DKI Jakarta dengan menerima permohonan pemohon (M. Taufik dari Partai Gerindra) sebagai Bakal Calon Legislatif DPRD DKI Jakarta yang memenuhi syarat (MS), setelah sebelumnya dianggap tidak memenuhi syarat (TMS) oleh KPU DKI Jakarta.

Sebelumnya, telah dilaksanakan mediasi antar kedua pihak (pemohon dengan termohon – KPU DKI Jakarta) hingga dua kali dan tidak menemukan solusi, hingga akhirnya digelar adjudikasi atas permasalahan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 yang mengatur eks napi korupsi dilarang nyaleg.

Putusan Bawaslu DKI Jakarta bukanlah putusan yang pertama, sebelumnya sudah ada beberapa putusan dengan nada yang sama. Yaitu Bawaslu Provinsi Sulawesi Utara, Bawaslu Kabupaten Rembang, Kabupaten Pare-Pare, Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Palopo, Kabupaten Belitung Timur, Kabupaten Tojo Una-una, dan Panwaslih Aceh.

Namun putusan Bawaslu DKI Jakarta seolah menjadi pemicu pro-kontra, bisa jadi karena Jakarta adalah ibu kota negara yang selalu menjadi barometer.

Sejak putusan itu, muncul stigma seolah-olah Bawaslu tidak pro terhadap agenda reformasi, pemberantasan korupsi. Begitu banyak wacana yang kemudian mendorong dinamika yang “vis a vis” antara KPU dan Bawaslu, terlebih KPU dengan dukungan masyarakat sipil antikorupsi juga seolah menggalang kekuatan opini dan media massa bahwa KPU ingin memerangi korupsi.

Senin pagi, 3 September 2018, dalam setiap grup WA yang penulis tergabung di dalamnya, hampir semuanya menyinggung putusan Bawaslu.

Sayangnya, tidak semuanya bisa menjadi ruang diskusi yang konstruktif. Masing-masing berstatement dengan pandangannya masing-masing tanpa mau memahami, mengapa ada perbedaan antara sikap KPU dan Bawaslu.

Bahkan sejak awal sudah mengedepankan stigma positif dan negatif. Vis a vis. Dikotimis. Masing-masing saling lempar link berita yang dianggap menguatkan kecenderungan pilihan opininya.

Pun saya jadi ikut terpola dengan dinamika yang ada. Setidaknya, tulisan ini menjadi bagian dari upaya konstruktif saya untuk menyampaikan opini dengan pemahaman yang ada.

Memahami Perspektif KPU
Dalam perspektif KPU, PKPU Nomor 20 Tahun 2018 sudah disahkan dan diundangkan.

Sah menjadi syarat formil sesuai ketentuan perundang-undangan, artinya suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju PKPU tetap berlaku dan sah selama belum dianulir oleh Mahkamah Agung (MA).

PKPU adalah hak atributif KPU untuk menjalankan tahapan pelaksanaan pemilu. Dalam pakta integritas (form B3 pencalonan), dituliskan salah satu isinya bahwa, bilamana parpol tetap melanggar, atau menyertakan caleg yang tersangkut tiga kasus pidana (korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak), maka bersedia mendapat sanksi administrasi berupa pembatalan calon yang diajukan, baik dalam pencalonan, DCS, DCT atau telah terpilih menjadi anggota Dewan.

Legalitas formil inilah yang menjadi dasar bagi KPU untuk menjalankan PKPU yang sudah diundangkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham). Karena dalam proses pengundangan PKPU, sebelumnya sudah dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi berbagai peraturan yang ada, baik secara horizontal maupun vertikal. Intinya, ketika PKPU ini diundangkan, dapat dipastikan sudah clear and clean.

Sinkron dan harmonis dengan peraturan dan perundangan lainnya. Pertanyaannya kemudian, mengapa hari ini menjadi masalah dan dipersoalkan? Jika legalitas formil sudah dilalui, apakah hal itu dengan serta-merta legalitas materilnya sudah aman??? Di sinilah titik awal polemik PKPU itu.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa tidak sedikit UU dibahas dan ditetapkan oleh DPR, syarat formilnya terpenuhi, tetapi ketika diundangkan dan terdapat kekeliruan, kemudian dilakukan judicial review oleh stakeholders kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dan dimenangkan oleh pemohon.

Artinya, ketika landasan legalitas formil sudah dilalui, tidak serta-merta suatu perundang-undangan dianggap benar 100 persen.

Hal lain yang menjadi dasar PKPU ini adalah good will. Niat baik. Perlu niat baik untuk melaksanakan pemilu yang kemudian akan menghasilkan kebaikan. Karena dalam sistem demokrasi, pemilu adalah titik awal membangun pemerintahan yang baik dan bersih, sehingga perlu dibuat aturan yang mengarah ke sana.

Dalam perjalanannya di awal, niat baik ini mendapatkan respons yang cukup baik dari setiap partai peserta pemilu dengan ditandatanganinya pakta integritas oleh Ketua Umum dan Sekjen, sepakat tidak akan mencalonkan calon legislatif mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi (syarat pencalonan). Artinya, partai politik sebagai peserta pemilu legislatif, sejak awal sudah menyepakati niat baik ini dengan pakta integritas.

Faktanya, partai secara kelembagaan, dengan kuasa hukumnya mengadvokasi caleg mantan terpidana korupsi untuk bersengketa dengan KPU. Artinya, partai tersebut melanggar pakta integritas, bukan?

Awal Polemik PKPU Dalam Sidang Adjudikasi Bawaslu DKI Jakarta
Dengan PKPU dan pakta integritas tersebut, KPU kemudian mencoret dan menyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) bacaleg mantan terpidana korupsi atas nama M. Taufik, dengan putusan KPU berupa pengumumam daftar calon sementara (DCS).

Setelah putusan itu, bacaleg tersebut kemudian mengajukan permohonan penyelesaian sengketa proses pemilu kepada Bawaslu, atas dasar obyek sengketa adalah putusan KPU yang men-TMS-kannya, yang berdasar pada PKPU. Termohon adalah KPU DKI Jakarta.

Tinggalkan Balasan

No More Posts Available.

No more pages to load.