Sidang kasus dugaan penipuan dengan terdakwa Shirly Prima Gunawan kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN JakSel), Selasa (5/9/230 dengan agenda persidangan pembacaan pembelaan Terdakwa (Pledoi).
Sidang dengan nomor perkara 136/Pid.B/2023/PN JKT.SEL dan digelar di ruang sidang 06 Prof. Dr. Mr. R. Wirjono Prodjodikoro tersebut dibuka dengan pembacaan pembelaan dari terdakwa Shirly yang memberikan judul pembelaannya ‘Air Susu Dibalas Air Tuba’. “Saya ingin memulai pembelaan atau Pledoi ini yang saya beri judul ‘Air Susu Dibalas Air Tuba,” ujar Shirly saat akan membacakan pledoi.
Dihadapan majelis hakim, terdakwa menyebutkan bahwa pada awalnya dia hanya berniat untuk membantu, karena dimintai tolong oleh saksi Fony Kurniadjaja untuk membantu menjualkan tas agar dapat mencicil hutang ke saksi Jimmy Budhijanto.
“Majelis Hakim yang mulia, Jaksa Penuntut Umum yang terhormat, Tim Penasehat Hukum serta para hadirin yang saya hormati, sampai dengan saat ini saya masih merasa bingung akan peristiwa hukum yang saya jalanin saat ini, yang mana niat baik saya membantu saudara Fony untuk melunaskan hutang-hutangnya ke saudara Jimmy menjadi bencana buat saya,” ucap Shirly yang juga membantah tuduhan-tuduhan terhadapnya.
Atas pembacaan pledoi dari terdakwa dan kuasa hukumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjawab tetap pada tuntutan, dimana pada sidang tuntutan, JPU menuntut terdakwa Shirly Prima Gunawan hukuman 2 tahun 6 bulan penjara.
“Menolak dan tetap pada tuntutan,” jawab JPU singkat.
Usai persidangan, Kuasa Hukum Pelapor, Martin Lukas Simanjuntak yang juga didampingi rekannya yakni Sabar Daniel Hutahaean membantah pembelaan terdakwa Shirly Prima Gunawan yang dalam pembelaannya membantah telah melakukan penipuan, bahkan menyatakan bahwa ia adalah korban.
“Hari ini terdakwa melakukan nota pembelaan atau Pledoi. Pledoi dia pribadi, atas pledoi yang disusun oleh Para penasehat Hukum. Menurut ketentuan KUHP (Pidana) ini adalah suatu hal upaya untuk membela diri.
Terdakwa diberikan hak ingkar, jadi boleh dia membantah, membantah dan membantah tidak akan dikenakan pasal 242 KHUP,” kata Martin saat ditemui Wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), pada hari yang sama.
Martin menyoroti pledoi terdakwa yang justru mengaku sebagai korban, dimana dikatakan bahwa terdakwa, tidak ada niat jahat dan hanya ingin membantu saudari Fony Kurniadjaja (Saksi pelapor dalam kasus ini) agar tidak terlilit dari utang.
“Bahkan katanya sudah mendapat izin dari Hermes, toko tas itu untuk membuat SIUP,” terang Martin.
“Toko mahal pasti sudah punya SIUP kan? Terus buat apalagi dia (Terdakwa) buat SIUP atas nama orang, gitu. Sedangkan kami juga mendapatkan informasi bahwa pemilik toko tas itu juga membantah, terkait adanya kepemilikan di luar dari pemilik sebenarnya.” tandasnya.
Lalu, lanjut Martin, pledoinya penasehat hukum juga saya lihat sama. Dia menarik bahwa ini adalah perbuatan cidera janji ataupun one prestasi.
“Tapi dalam tindak pidana itu yang paling penting adalah unsur tindak pidana terpenuhi. Kalau dalam tuntutan 378 maka setiap unsur itu harus dapat dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dengan JPU menuntut berarti sudah cukup pembuktiannya,” kata dia.
“Tinggal Hakim melihat, ada nggak keyakinan dia? Kalau dua alat bukti, saya pikir sudah cukup ya. Tapi yang saya cukup khawatir disini hari ini Ketua Majelis Hakimnya, harusnya kan Pak Samuel Ginting. tadi siang saya lihat beliau ada, tapi pada saat sore, mau sidang, justru diganti sama yang lain, gitu ya. Ini nggak tau karena sakit, karena dinas, atau karena apa?” terangnya.
“Ini yang sebenarnya saya khawatir, manakala di sidang pertama di tanggal 21 Maret (2023), terdakwa ini tiba-tiba jadi tahanan rumah gitu. Sidang pertama yaa. Kalau sidang kedua, sidang ketiga (jadi tahanan rumah? ini adalah sesuatu hal yang mengandung pemberlakuan khusus, pada Terdakwa. Kapan surat itu dilayangkan? Kapan surat itu dikaji dulu, Kok tiba-toba jadi tahanan rumah?” tanya Martin.
Karena keprihatinan itulah, Martin mengungkap pihaknya sempat bersurat ke Bawas dan Komisi Yudisial (KY). Supaya, ketika ada sesuatu hal yang mencurigakan atau ada indikasi mencurigakan, bisa dipantau bersama-sama.
“Jangan sampai nanti ada perbuatan-perbuatan yang sifatnya transaksional yang bisa saja berimplikasi terhadap putusan yang akan dijatuhkan kepada terdakwa.” urainya.
Dalam prakteknya nanti, Martin mengaku khawatir kalau dari Mahkamah Agung (MA) dan juga Bawas MA dan KY tidak ikut memantau, hanya kami saja yang memantau dengan rekan-rekan media, bisa terjadi putusan yang tidak memberikan keadilan bagi Pelapor, Korban dan juga tindakan preventif kepada Masyarakat supaya keadilan di atas, supaya keadilan serupa tidak terulang lagi.
“Bisa saja putusannya ontslag? atau lepas? Bisa saja putusannya nanti pidana percobaan? Kita nggak tau. Tapi apapun itu, karena kami peduli, sebagai Kuasa Hukum Pelapor dan Korban dan kami juga peduli kepada penegakkan hukum ke depan, yang berkeadilan, kami datang kesini untuk memantau.” tandas Martin.
Martin juga menyoroti JPU yang pada sidang Pledoi ini sudah menyatakan tidak akan melakukan replik (jawaban atau tanggapan JPU atas pembelaan (pledoi) Terdakwa. Martin menegaskan, manakala hari ini tidak ada statement bahwa JPU akan melakukan replik, maka ia berharap apa yang ia sampaikan tadi mengenai kekhawatiran itu, tidak terjadi.
“Karena indikasi-indikasinya semakin kencang ini. Tapi sih itu, kekhawatiran. Mudah-mudahan tidak terjadi.” imbuhnya.
“Tapi kalau terjadi, ya kita selaku Kuasa Hukum Pelapor dan Korban juga akan melakukan, menempuh upaya-upaya hukum yang lain.” tandasnya.
Oleh karena itu, Martin menegaskan, apa pun itu putusan Hakim, Jaksa harus berani mengambil sikap apabila putusan tersebut tidak mencerminkan atau pun memberikan kepastian hukum dan keadilan, kemanfaatan bagi Pelapor dan juga Korban.
Selanjutnya, sidang akan kembali digelar pada Selasa (26/9/2023) dengan agenda pembacaan putusan.
Sebagai informasi, Rizky Ayu Jessica (Pelapor) secara resmi melaporkan Shirly Prima Gunawan (Terlapor/Terdakwa) ke Polda Metro Jaya atas Peristiwa yang terjadi pada sekira Bulan Maret s.d Mei 2022 dengan tuduhan, Terdakwa diduga telah melakukan Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan serta Pemalsuan Surat yang disertai dengan penggunaan SIUP yang diduga palsu dengan tujuan agar Pelapor dan Korban (Jimmy Budijanto) percaya dan seolah-olah benar bahwa Terlapor memiliki Toko Tas Mewah yang berada di Mall Artha Gading, berdasarkan SIUP Kecil Nomor: 217/24.1PK/31.71.07/-1.824.27/e/2016 yang dimiliki oleh Terdakwa Shirly Prima Gunawan.
Kasus ini berawal dari adanya jaminan bisnis tas bermerek sebesar Rp18 miliar melalui surat pernyataan utang yang akhirnya tidak terealisasikan pembayarannya. Terdakwa Shirly Prima Gunawan memberikan bilyet giro atau giro kosong atau ditolak oleh otoritas Bank.
Akibat tindakan terdakwa, korban mengalami kerugian sebanyak 17 tas branded dengan merek Dior, Hermes, Chanel dan lainnya sesuai yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum (JPU) pada Perkara Pidana Nomor 136/Pid.B/2023/PN. JKT SEL. Perkara ini menyebabkan korban mengalami kerugian secara materill dan imateriil.
Hingga berita ini ditayangkan, masih dilakukan upaya meminta keterangan lebih lengkap dari terdakwa atau kuasa hukum terdakwa.
(Eky)