Tolak SK Menteri LHK, Kesatupadu Sebut Leluhur Mereka Sudah Kelola Lahan Sejak 1750-an

oleh
oleh
Ketua Kesatupadu Ir. SM Banjarnahor, MSi Menjelaskan Kronologis Perjuangan sejak Awal November 2020 sampai 25 Februari 2023, dalam konferensi pers, Minggu (26/2/23). (Foto: eky/sketsindonews)

Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) No. 579 tahun 2014 terkait lahan yang terletak di Desa Pasingguran II Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatra Utara mendapat penolakan dari Keluarga Besar Perantau Parsingguran Dua (Kesatupadu). Secara tegas melalui konferensi pers, di Rawamangun, Jakarta Timur, Minggu (26/2/23), Kesatupadu meminta Pemerintah untuk merevisi SK tersebut.

Pasalnya, menurut Ketua Umum Kesatupadu, Ir. Saut Mardongan Banjarnahor, Msi, hal itu sangat merugikan pihaknya yang menyebut bahwa leluhur mereka dan sudah 12 generasi telah mengelola lahan di wilayah tersebut dengan bertani, berkebun dan peternakan sejak tahun 1750-an. Namun kemudian oleh melalui Surat Keputusan No. SK.579/Menhut-II/2014 tersebut wilayah desa Parsingguran II (diluar surat perjanjian 15 Oktober 1963) ditunjuk menjadi Kawasan Hutan  Lindung dan Hutan Produksi.

“Tanah leluhur kami yang sudah dikelola dengan bertani, berkebubun dan ternak dengan adanya SK KLHK tersebut menjadi wilayah kawasan hutan,” ujar Saut.

Sementara, lanjut Saut, jika merujuk Surat Perjanjian tahun 1963 antara Pemerintah dan Masyarakat Marbun Habinsaran (Desa Pollung, Desa Ria-ria, Desa Parsingguran I dan Desa Parsingguran II), lahan Ramba Nalungunan dan sekitarnya yang berada di lereng Bukit Ulu Darat dihijaukan dengan pohon Pinus seluas ± 2.500 ha untuk mencegah kekeringan dan banjir Sungai Sihatunggal, Sungai Rugi- rugi dan Sungai Sipultak Hoda. Karena ketiga sungai tersebut berfungsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat disekitarnya. Permohonan tersebut disetujui dan telah ditandatangani oleh para tokoh masyarakat sebanyak 15 (lima belas) orang pada tanggal 15 Oktober 1963.

“Dengan terbitnya SK tersebut telah menimbulkan keresahan di tengah masyarakat Parsingguran II, karena tanah sebagai lahan pertanian atau perkebunan serta sumber penghidupan yang telah diusahakan secara turun temurun dari nenek moyang ratusan tahun yang lalu sebelum negara tercinta ini terbentuk, telah meniadakan penguasaan tanah dan telah merugikan masyarakat Parsingguran II,” ucapnya.

Pada kesempatan yang sama, Koordinator seksi Hukum Kesatupadu, Noak Banjar Nahor menegaskan bahwa pada dasarnya masyarakat Parsingguran II mendukung program pemerintah baik Taman Bunga Nasional maupun Ketahanan Pangan.

“Tetapi rakyat harus menjadi tuan di daerahnya sendiri dan semuanya harus terlebih dahulu dikomunikasikan dengan rakyat Parsingguran II,” tegasnya.

Untuk itu, Ia berharap agar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera memproses dan mengabulkan permohonan mereka yang memohon supaya seluruh lahan atau tanah Desa Parsingguran II dibebaskan dari status hutan.

“Dengan ditunjuknya wilayah desa Parsingguran II menjadi kawasan hutan, maka pemerintah dalam hal ini Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengabaikan Surat Perjanjian 15 Oktober 1963, dimana pemerintah secara sepihak telah “mencaplok”/mengambil tanah masyarakat Parsingguran II di luar Surat Perjanjian 15 Oktober 1963 dan dijadikan kawasan hutan. Pemerintah juga telah mengabaikan sejarah masyarakat Parsingguran II yang sudah berdomisili disana dan telah menguasai dan mengusahai lahan tersebut secara turun temurun sejak tahun 1.750-an atau telah 12 generasi hingga sekarang,” terangnya.

Tinggalkan Balasan

No More Posts Available.

No more pages to load.