Yogyakarta, sketsindonews – Goa Langse terletak di kaki tebing Pantai Parangtritis. Walau medannya sulit dijangkau namun banyak peziarah yang menantang maut untuk mendatanginya. Salah satunya adalah Gino, di ketahui gara-gara suka judi dan main perempuan, pria asal Bantul, Yogyakarta ini usahanya bangkrut.
“Aku ingin menyepi di Goa Langse untuk menenangkan diri dulu. Mudah-mudahan bisa kutemukan jalan keluar untuk mengatasi persoalan yang membelitku sekarang ini,” kata Gino pada Wahyu, sahabatnya.
“Hati-hati ya, Gin. Jangan berbuat macam-macam apalagi mau bunuh diri!” pesan Wahyu saat mengantarkan Gino menuju tebing menuju Gua Langse.
Wahyu merasa ngeri saat dari tebing dengan ketinggian 400 meter dan nyaris tegak lurus itu, Gino mulai menuruni tangga bambu menuju goa. Di kanan kirinya tampak banyak akar dan batuan yang menonjol, sedangkan di bawah batu-batu cadas ada ombak laut selatan yang ganas, siap melahap mereka yang karena kurang hati-jhati dalam meniti tangga dari bambu itu, lalu terlempar oleh gravitasi bumi.
Namun, tampaknya Gino sudah mantap hatinya, dia ingin mencari ketenangan di gua itu. Sampai kapan dia akan melakukan ini, dia sendiri tak tahu. Bahkan, dalam hati dia berjanji, kalau belum merasa tenang, dia akan terus bertapa.
Saat mengawali bertapa, dia masih mendengar gelegar ombak Laut Selatan yang menghantam tebing. Demikian pula dengan cericit burung yang banyak beterbangan di sekitarnya.
Namun, pelan tapi pasti, suara-uara itu seperti menghilang. Dan dalam bayangannya dia seperti mengembara di padang luas yang tandus, seolah tak ada kehidupan di padang yang sangat luas tersebut.
Dalam pengembaraan di padang tandus ini Gino merasa sangat lelah dan kehausan. Namun Gino tak melihat ada telaga atau tempat yang subur yang bisa menjadi tempat untuk sekadar berteduh.
”Akankah aku akan tersesat dan mati di tengah padang misterius ini?” tanyanya dalam hati.
Dengan sempoyongan dia terus berjalan, menapaki tanah berbatu padas yang keras. Dan setelah nyaris mati, akhirnya dia menemukan satu tanah yang subur. Dia juga melihat ada telaga dan rumah mungil di situ.
Gino ingin minum dan membasuh mukanya dengan air telaga. Namun setiap kedua tangannya mengambil air, suatu keanehan terjadi. Air yang tadinya jernih itu berubah merah darah dan berbau anyir. Gino putus asa. Namun, dia hanya bisa menangis sesunggukan.
“Nakmas kehausan ya?” tiba-tiba ada seseorang yang bertanya.
Ketika Gino mengangkat wajahnya, dia melihat ada lelaki tua berambut putih semua telah berdiri di dekatnya. Aneh, seketika itu rasa hausnya jadi hilang.
“Siapakah Kakek ini sebenarnya?” tanya Gino. Dia heran karena lelaki tua itu berpakaian seperti orang yang hidup di zaman Majapahit, dengan rambut digelung dan berkain lurik.