Dan ini tak dapat dikatakan reforma agraria karena bagi-bagi sertifikat itu adalah tupoksi BPN, sudah sewajibnya pemerintah mensertifikatkan seluruh tanah-tanah milik warga negara Indonesia, itu sudah tugas harian rutin, sudah ada di APBN nya bahkan seharusnya gratis.
Sertifikasi dalam konteks reforma agraria berbeda, karena yang harus diprioritaskan adalah petani-petani kecil, petani-petani gurem petani-petani yang berada di dalam konflik agraria, yang wilayahnya mengalami situasi ketimpangan.
Pada tahun 2017 ada 659 konflik agraria, pada tahun 2016 ada 450 konflik agraria di seluruh Indonesia yang tiap tahun terus meningkat. Dalam tahun 2017 ada 592 korban kekerasan dan kriminalisasi konflik agraria, 359 ditangkap karena memperjuangkan hak atas tanah, 224 dianiaya, 13 tewas di lokasi-lokasi konflik, 6 tertembak.
Cara-cara represif dalam menangani konflik agraria. Hukum pertanahan di Indonesia masih bersifat hukum positif. Kalau tidak pegang sertifikat artinya ilegal. Bayangkan, kalau seluruh warga negara Indonesia yang ada di pedesaan, di pedalaman, masyarakat adat, artinya mayoritas itu semua masyarakat ilegal.
Padahal dalam UUPA hanya warga negara Indonesia yang mempunyai hak pemilikan dan penguasaan atas tanah.
Warga negara asing atau badan usaha asing hanya diperkenankan untuk hak pakai atau hak sewa, tetapi yang terjadi adalah kebalikannya.
Ada kontradiksi kebijakan, satu sisi politik kerakyatan atau reforma agraria di sisi lain ada agenda-agenda yang bertabrakan dengan spirit atau prinsip-prinsip reforma agraria khususnya keadilan sosial.
Sedangkan pembangunan infrastruktur, mal, properti, Meikarta, kereta api cepat, dsb lebih masif cara kerjanya, sedangkan agenda kerakyatan reforma agraria pada tahun 2017 mandek.
Said Iqbal (Presiden KSPI)
Keadilan sosial bagi buruh tidak pernah didapatkan selama Indonesia merdeka. Faktanya mudah, kalau di buruh adalah gini indeks atau gini ratio mengukur pendapatan tinggi pendapatan terendah. Kalau angka gini indeks atau gini ratio melebar, maka gab kaya orang miskin melebar.
Kalau hal ini melebar, maka keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tidak ada. Berarti social justice for half people, hanya bagi sebagian orang saja. Majalah Forbes 2017 mencatat 10 orang terkaya di Indonesia angka kekayaannya bertambah ratusan triliun.
Bahkan beberapa orang Asia bertambah di lingkaran 500 orang terkaya di dunia. Termasuk salah satunya orang-orang kaya baru di Indonesia. Hal ini menjadi aneh karena menunjukkan gap di Indonesia.
Pada saat bersamaan di tahun 2017 terjadi gelombang PHK 3x di perusahaan pertambangan, farmasi, perminyakan, otomotif, elektronik, tekstil. Penguasaan tanah di 0,35% orang kaya di Indonesia.
Bagaimana mungkin seorang Sinar Mas Group Eka Tjipta Wijaya ngemplang BLBI maling pajak yang kemudian diampuni dengan tax amnesti, menjadi kekayaan aset tanahnya 5 juta hektar yang setara dengan 50 miliar meter persegi. Bila setiap buruh punya rumah tipe 21 meter persegi, kalau benar data tersebut seperti dilansir beberapa teman dan PBB pun data 0,02 % orang menguasai 74 % tanah, berarti ada 900 juta buruh yang akan memliki tipe 21.
Sedangkan Indonesia hanya 260 juta, ditambah orang Malaysia masih lebih, ditambah orang Singapura masih lebih, ditambah se ASEAN masih lebih tanahnya.
Masuknya unskill workers sangat mudah karena adanya visa bebas, hal ini tidak tercatat apakah wisatawan atau pekerja. Di beberapa daerah, Pulo Gadung yang terdekat ditemukan pekerja asing sebagai sopir vorklift.
Dan masih banyak kelonggaran-kelonggaran dengan dikeluarkannya Perpres Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
Ini bukanlah rasis tetapi ini adalah kedaulatan negara kita yang telah diinjak-injak hak rakyatnya. Dengan catatan yang diperoleh lebih dari 1 juta tenaga asing dari Cina. Perubahan dunia yang akibatkan eksploitasi manusia semakin kuat.
Batas negara terlampaui akibat perubahan dunia. Perubahan digital melalui shifting berlangsung cepat. Revolusi industri: future world. Setelah digital ekonomi mulai settle, proses pengerjaan barang dengan menggunakan selain manusia sehingga berakibat PHK besar-besaran karena digantikan robot. Sistem kedaulatan direnggut dengan revolusi digital ini.
Bhima Yudhistira Adhinegara (Ekonom Muda INDEF)
Ada 5 (lima) hal yang menjadikan kita beresiko menjadi negara gagal:
Pertama, persoalan daya beli masyarakat
Nilai tukar petani anjlok sehingga daya beli terkoreksi, upah riil buruh tani turun 3% artinya pendapatan buruh tani terkoreksi terus dengan inflasi.
Daya beli masyarakat tidak turun menurut pemerintah yang katanya beralih atau shifting ke online adalah fatal. Fakta e-commerce bahwa jual beli online hanya 1%, 80 % lebih yang belanja di pasar tradisional dan sisanya adalah belanja di pasar modern.
Revolusi Industri 4.0 di Indonesia belum terjadi dan belum ada investasi robotisasi Indonesia, sehingga investasi masuk sektor jasa bukan sektor manufaktur. E-commerce, fintech, transportasi online, yang terjadi adalah revolusi jasa tidak ada penyerapan tenaga kerja. Jadi, penyerapan tenaga kerja menurun, daya beli masyarakat tertekan, konsumsi rumah tangga di bawah PDB. Hal ini indikasi negara dapat mengalami failed state.
Kedua, persoalan hutang
31% penerimaan pajak habis untuk membiayai bunga dan cicilan pokok hutang, yang tiap tahun kita harus membayar 480 triliun cicilan pokok plus bunga hutang. Artinya bila hutang kita makin membengkak, secara nominal bertambah lebih dari 1000 triliun dalam 3 tahun terakhir maka yang akan terjadi adalah ruang fiskal makin sempit, APBN makin terkuras untuk bayar hutang.
Padahal pembayaran hutang adalah melalui pajak, implikasinya pajak pasti dinaikkan. Sampai 2050 data dari Kementrian Keuangan, kita masih ada tanggung jawab untuk membayar hutang jatuh tempo.
Ketiga, persoalan impor
Banyak mal-administrasi terkait impor oleh menteri perdagangan oleh BPK.