Setelah beberapa daerah dengan tegas menolak provokasi gerakan Ganti Presiden, tampak jelas bahwa kekurangan Jakarta adalah karakter. Jakarta tak bisa disebut milik sekelompok orang. Tidak ada rasa memiliki kota ini bagi warganya. Maraknya aksi intoleransi dan provokasi di Jakarta karena ketiadakan rasa cinta ini. Mereka saling menciptakan dinding pembatas bagi kelompok lain. Maklum saja, Jakarta adalah “melting pot”. Tempat bertemunya para nomad. Ketika hari raya tiba, para nomad ini pulang ke rumah yang sebenarnya.
Tubuh mereka memang ada di Jakarta, tapi jiwa mereka masih tertinggal di kampung halaman. Boleh jadi mereka telah menetap bertahun-tahun di Jakarta, tapi karakter dan kecintaan mereka mengendap di tempat lain.
Kekalahan Jakarta terhadap aksi intoleransi dan provokasi keagamaan, memang bukan bukti tepat untuk membenarkan teori demikian. Faktanya, Sumatera Barat juga sukses menjadi daerah dengan aksi intoleransi yang subur. Dokter perempuan yang dipersekusi dan harus keluar daerah itu tempo hari, adalah bukti konkret. Bahkan dengan sosok yang diagungkan secara adat saja mereka berani merusaknya.
Namun barangkali itu malah menggenapkan teori tadi. Selain karena *melting pot* seperti Jakarta, kurangnya akses informasi yang jelas seperti Sumatera Barat juga menyuburkan aksi intoleransi dan provokasi keagamaan itu. Karakter kedaerahan tadi juga tidak cukup kuat membendungnya. Bahkan kadang dijadikan alasan untuk memisahkan “yang lain.”
Surabaya secara tegas menolak gerakan Ganti Presiden itu. Kelompok sebelah tentu akan membela diri atas nama demokrasi. Padahal warga setempat juga berhak menyelamatkan ketenteraman dan kerukunan mereka. Musim kampanye belum mulai. Organ penggerak Ganti Presiden juga bukan tim resmi Capres-Cawapres. Wajar kalau warga Surabaya mencurigai ada bau busuk di dalamnya.
Apakah itu?
Menyusupnya kelompok intoleran anti Pancasila. Eks-HTI jelas memanfaatkan gerakan ini untuk menyerang Pemerintah dan aparat keamanan. Sementara kekuatan asing yang menjadi motor mereka, tentu juga melihat celah untuk masuk. Ada kekuatan besar di balik semua itu.
Menggoyang Indonesia tak selalu menggunakan kekuatan fisik, seperti menggunakan tentara, menghantam kurs Rupiah, mencekik dengan bantuan. Namun itu bisa juga dilakukan dengan memanfaatkan organ tanpa bentuk seperti gerakan Ganti Presiden ini.