Surabaya Melawan Aksi Intoleransi Ganti Presiden

oleh
oleh

Hal inilah yang mungkin membuat warga Surabaya khawatir. Mengingat sikap heroik tadi memang seperti pedang bermata dua. Dulu saat melawan penjajah, pidato Bung Tomo membakar semangat ini. Perlawanan itu mengagetkan pasukan Sekutu. Bisa dibayangkan jika orang-orang semacam itu diadu-domba. Ngerinya melebihi peristiwa Jakarta.

Maka antisipasi perpecahan itu sudah tepat. Kalau kampanye, silakan menunggu waktunya. Kalau mau protes, lakukan di wilayah masing-masing. Jangan menyebar kobaran api ke wilayah lain. Mungkin begitu maksud mereka.

Surabaya dikenal damai. Warga keturunan Tionghoa, Arab, non muslim, merasa memiliki kota itu. Tidak seperti Jakarta, Surabaya mengikat warganya lebih erat. Logat warga Surabaya yang medok, termasuk warga keturunan, itu sudah cukup sebagai tali. Mereka tidak berbeda. Kecintaan mereka sama. Bandingkan dengan Semarang, Solo, Jogja. Ada semacam jarak yang sengaja diciptakan di sana.

Gerakan Ganti Presiden memang hanya bungkus luar. Isinya eks-HTI, para mafia yang dibabat Pemerintah, koruptor, petualang politik, kepentingan asing. Yang diserang bukan hanya petahana, tapi juga ideologi dan ketenangan negara. Orang-orang ini sedang membangun kekuatan jauh sebelum waktunya. Mereka ingin memastikan konspirasi mereka berjalan aman.

Terang-terangan ingin melawan Pemerintah dan aparat tentu tak mungkin. Kekuatan mereka aslinya tak seberapa. Tapi memanfaatkan momen politik adalah cara yang tepat. Dengan fanatisme pada calon oposisi, mereka membakar perlawanan. Agenda utamanya bukan meloloskan Prabowo, tapi menancapkan kuku mereka kembali setelah sebelumnya diberangus.

Tentu sulit dimengerti, bagaimana gerakan tanpa bentuk itu membiayai dirinya? Perlu uang besar untuk meletupkan gerakan itu di banyak wilayah di seluruh Indonesia. Mereka bahkan bergerak ke luar negeri. Itu untuk memberi kesan mereka banyak dan diterima. Padahal faktanya hanya segerombolan orang yang itu-itu saja. Ramainya hanya di medsos. Dengan itu mereka membentuk gambaran, seolah besar untuk mempengaruhi massa.

Surabaya telah melawan. Sama seperti Batam, Riau, Babel dan daerah lain. Mereka menunjukkan karakter daerahnya. Mereka ingin hidup damai, tak ingin diadu-domba. Langkah itu tentu adalah hak mereka. Itu juga demokrasi. Karena mereka mencintai daerah kelahirannya. Jangan sampai ada banjir darah. Jangan sampai ada mayat yang tak disolatkan. Jangan sampai ada makian kafir, cina, halal darahnya.

Cukuplah Jakarta sebagai contoh kegagalan itu. Kerusakan yang membekas dalam dan tak terobati. Kota yang gagal mewajahkan Indonesia cinta damai dan toleran. Cukup Jakarta saja…

No More Posts Available.

No more pages to load.