Celakanya, tujuh skill-set itu minim diajarkan di sekolah-sekolah kita saat ini. Karena itu sekolah-sekolah kita harus meredefinisi kurikulumnya dengan mengakomodasi skill-set baru tersebut.
Nadiem Makariem
Tiga disrupsi di atas membutuhkan terobosan kreatif dan pendekatan baru yang tidak BAU. Paradigma baru yang melahirkan tiga disrupsi tersebut membutuhkan pendekatan baru yang fresh dan bervisi jauh ke depan.
Pendekatan lama dari orang-orang lama yang puritan dan resisten hanya akan membuat ekosistem pendidikan kita kian terpuruk dan melapuk.
Dunia pendidikan kita membutuhkan sosok muda (milenial) yang memiliki default pemikiran yang fit dengan logika zaman baru yang akan kita masuki.* Dalam konteks inilah pengangkatan Nadiem Makarim sebagai Mendikbud menemukan substansi dan urgensinya.
Dunia pendidikan yang terimbas gelombang besar disrupsi membutuhkan pemimpin disruptif (disruptive leader) yang mumpuni. Dan seperti telah dibuktikannya di Go-Jek yang menghadapi challenges yang sama, peran ini seharusnya mampu dimainkan oleh seorang Nadiem. Setidaknya dalam setahun kepemimpinannya, Nadiem harus melakukan tiga terobosan kunci.
Pertama
ia harus bisa menemukan “end destination” yang menunjukkan ke arah mana sektor pendidikan kita akan dibawa di tengah pusaran disrupsi. Persis seperti ketika ia mampu menavigasi Go-Jek menjadi mega-platform dengan multi-layanan.
Kedua,
ia harus bisa menanggalkan (unlearn) paradigma lama Kementerian dan melumerkan (unfreeze) budaya kerja lama yang terlanjur mengeras puluhan tahun agar lincah bertransformasi. Ini adalah pekerjaan tersulit di tengah birokrasi Kementerian yang terlanjur gemuk, lambat, kronis.
Ketiga
dengan cepat menghasilkan creative solution untuk memecahkan persoalan-persoalan kekinian pendidikan kita. Kita menunggu terobosan-terobosannya di Go-Jek dengan segudang cretive solution dari Go-Ride, Go-Car, Go-Send, Go-Food, hingga Go-Pay bisa terulang untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan kita.
Banyak tantangan lama pembangunan pendidikan yang telah bertahun-tahun tak kunjung bisa dituntaskan seperti: pemerataan pendidikan di seluruh pelosok Nusantara, tingginya angka putus sekolah, kesenjangan dunia pendidikan dan dunia kerja, hingga yang paling “jadul” pemberantasan buta huruf di pedesaan.
Namun jangan lupa, tantangan pendidikan ke depan seperti saya gambarkan dengan tiga gelombang disrupsi di atas tak kalah urgennya untuk disolusikan. Gagal paham dan kekeliruan dalam merespons tantangan pendidikan masa depan akan dibayar mahal oleh bangsa ini: alih-alih menjadi negara maju, Indonesia justru bakal terjebak ke dalam “middle-income trap” bahkan tergelincir kembali menjadi negara miskin.
Sumber : Yuswohady
nanorame