Untuk itu, dia menyimpulkan bahwa Akom itu menjadi Ketua Umum SOKSI bukanlah hasil Munas SOKSI Tahun 2010 yang konstitusional tetapi faktanya adalah hasil rekayasa penunjukan secara inkonstitusional. “Itulah awal perpecahan SOKSI, dan perbedaan sikap politik dalam berbagai event,” katanya.
Dalam Pilpres 2014, SOKSI versi RZ dibawah pimpinan Wakil Ketum Ali Wongso dengan araha Suhardiman Pendiri SOKSI, bergerak mendukung Capres-Cawapres Jokowi-JK , sedangkan SOKSI versi Akom mendukung Prabowo-Hatta. Lalu dalam konflik internal Golkar 2014, SOKSI versi Akom berada di Munas Bali dan SOKSI versi RZ dengan Plt Ketum nya Ali Wongso ketika itu karena RZ berhalangan, berada di Munas Ancol.
Lebih lanjut dalam Munaslub Golkar 2016 di Bali, keduanya sama-sama peserta yang sah namun berbeda pilihan calon Ketum Golkar. Pasca munaslub, DPP Partai Golkar berupaya memediasi rekonsiliasi SOKSI, melalui Munas Bersama Oktober 2017 yang dipimpin oleh sesepuh SOKSI dan Golkar, Oetojo Oesman, namun Akom tidak bersedia berkontestasi dalam Munas yang berbasis AD/ART SOKSI 2010 itu. Akhirnya Munas itu menetapkan Ali Wongso sebagai Ketua Umum terpilih secara aklamasi.
Jika dalam Rapimnas Golkar 2019 lalu Ketua Umum Pak Airlangga memberi kesempatan bicara kepada keduanya, memang seharusnya demikian sebab kedudukan keduanya sama dan begitulah yang demokratis dan adil, jadi bukan karena siapa mendukung siapa.






