By: Chazali H. Situmorang
( Direktur Social Security Development Institute – Dosen FISIP UNAS)
Opini, sketsindonews – Kita ketahui bersama, beberapa waktu yang lalu bagaimana dinamika yang cukup tajam dalam Rapat Kerja antara Komisi IX DPR dengan Menkes, Direksi BPJS Kesehatan, DJSN, yang ujungnya berakhir buntu. Karena Menkes sudah lempar handuk tidak dapat memenuhi solusi yang sudah dijanjikannya dalam Raker terdahulu.
Inti perdebatan adalah DPR menuntut janji Menkes untuk menggunakan “surplus” dari kenaikan dana PBI, untuk menbayar selisih kenaikan kelas III mandiri yang menurut anggota DPR Komisi IX adalah juga mereka miskin dan tidak mampu. Jumlahnya cukup banyak sekitar 19 juta peserta, dan akan terus bertambah karena banyak diantaranya yang membayar di kelas II dan I turun kelas dan hanya membayar untuk tarif kelas III sebesar Rp.42.000.- Hitungan sementara sudah mencapai lebih dari 800 ribu peserta.
Sikap lempar handuk alias menyerah, menyebabkan anggota DPR semakin meradang, dan marah-marah. Kemarahan mereka wajar karena sikap lempar handuk dr.Terawan, menunjukkan qualitas kepemimpinan seorang Menteri, sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang anggota Komisi IX, “baru kali ini saya Raker dengan Menteri yang menyerah, tidak memberikan solusi”. Kalau dicermati tanggapan anggota DPR tersebut “sangat tajam” dan menohok sang Menteri.
Kenapa mereka begitu marah. Sebagaimana syair lagu “kau yang berjanji, kau yang mengingkari” itulah yang dirasakan, sehingga bangkitlah sahwat kekuasaan memarahi sehabis-habisnya pemerintah. Anggota DPR menyadari dan memanfaatkan betul wewenangnya untuk berbicara “sesukanya’ dalam ruang sidang DPR karena dilindungi UU dalam melaksanakan fungsi pengawasan.
Saat ini posisi Menkes dr.Terawan terjepit dan terhimpit. DPR menuntut terus janji Menkes untuk mengeksekusi “melakukan subsidi silang terhadap peserta JKN mandiri kelas III dari dana PBI”, yang jelas-jelas tidak ada diamanatkan dalam Perpres 75/2019. Di sisi lain, Menko PMK, dan Menkeu tetap bersikukuh melaksanakan Perpres 75/2029 tanpa kecuali dan modifikasi. Sedangkan Dirut BPJS Kesehatan tidak dapat melaksanakan kebijakan Menkes tersebut, karena tidak sesuai dengan penggunaan Dana Jaminan Sosial yang limitatif sebagaimana diatur dalam UU BPJS. Ada potensi Dirut BPJS Kesehatan melanggar UU jika mengikuti kemauan Menkes yang didukung DPR. Berat sekali posisi Menkes dan Dirut BPJS Kesehatan.
Dalam tulisan saya http://www.urbannews.id/opini/pak-menkes-masih-ada-solusi/ , memberikan solusi yang fundamental yaitu menyelesaikan soal status dan jalan keluar untuk kelas III mandiri, sekaligus perbaikan basis data kesejahteraan sosial sebagai penerima PBI. Tanpa harus ada pihak yang kehilangan marwah dan martabat diri dan lembaga.
Tetapi apa yang terjadi. Ternyata beberapa hari yang lalu DPR melaksanakan FGD (Focus Group Discussion), yang Live Streaming nya beredar di media sosial, dan mnjadi viral. Intinya DPR meyakinkan Dirut BPJS Kesehatan dapat melakukan diskresi kebijakan yang melampui kewajibannya dengan tidak menarik iuran kelas III mandiri yang sudah dinaikkan, tetapi tetap dengan menggunakan tarif iuran yang lama (Rp.25.500 POPB), untuk 19 juta peserta, total dana sekitar Rp. 3,7 trliun untuk 1 tahun.