Jakarta, sketsindonews – Sampai hari ini, industri manufaktur maupun transportasi online yang jumlah pekerjanya lebih dari 40 juta orang di seluruh Indonesia belum meliburkan pekerja atau memberlakukan work from home (WFH). Padahal beberapa kepala daerah dan presiden sudah menyampaikan himbauan agar masyarakat tetap berada di dalam rumah. Tetapi fakta di lapangan, himbauan ini tidak dijalankan oleh para pengusaha karena masih mewajibkan para buruh untuk bekerja. Hal tersebut disampaikan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, melalui siaran pers, Rabu (25/3/20).
Menyikapi hal itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, “Himbauan untuk work from home hanya menjadi macan kertas dan tidak berdampak. Terbukti, masih banyak perusahaan yang tetap beroperasi.”
“Padahal ini merupakan waktu yang tepat bagi perusahaan untuk meliburkan para buruhnya,” lanjut Said Iqbal. “Para buruh sangat rentan terpapar corona. Kalau banyak buruh yang terinfeksi, maka perekonomian Indonesia akan semakin terpuruk.”
KSPI, kata Said Iqbal, mengingatkan semua pihak terkait dengan adanya potensi terjadinya PHK besar-besaran. Potensinya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan ribu pekerja. “Kami menyebutnya sebagai darurat PHK,” kata Said Iqbal.
Darurat PHK tersebut, bisa dilihat dari 4 (empat) kondisi berikut.
Kondisi yang pertama, kata Iqbal, adalah ketersediaan bahan baku di industri manufaktur yang mulai menipis. Khususnya bahan baku yang berasal dari impor, seperti dari negara China, dan negara-negara lain yang juga terpapar Corona.
Industri yang akan terpukul adalah labour intensif atau padat karya, seperti tekstil, sepatu, garment, makanan, minuman, komponen elektronik, hingga komponen otomotif. Karena bahan baku berkurang, maka produksi akan menurun. Ketika produksi menurun, maka berpotensi terjadi pengurangan karyawan dengan melakukan PHK.
“Karena itu, sebaiknya perusahaan segera meliburkan para pekerjanya untuk mengurangi biaya produksi; seperti biaya listrik, gas, transportasi, dan maintenance/perawatan,” kata Said Iqbal.
Situasi yang kedua adalah, melemahnya rupiah terhadap dollar.
Seperti kita ketahui, rupiah sempat melemah hingga di posisi 17 ribu. Jika situasi ini terus berlanjut, perusahaan padat karya maupun padat modal akan terbebani dengan biaya produksi yang tinggi. Terutama perusahaan-perusahaan yang harus membeli bahan baku dari impor.