Jakarta, sketsindonews – Tren aksi teror di wilayah Jawa Barat diklaim mengalami penurunan signifikan selama lima tahun terakhir ini. Bandingkan dengan grafik penanganan terorisme sebelum tahun 2018.
Kasatgaswil Jabar Densus 88 AT Polri, KBP H. Djoni Djuhana mencatat sepanjang tahun 2016-2017, penangkapan teroris mencapai 1.300-an orang.
“2018, aksi teror di Jabar terakhir terjadi di Indramayu,” ujar Djoni dalam FGD Moderasi Beragama: Memetakan Persoalan Radikalisme di Jawa Barat, di Kota Bandung, yang diselenggarakan Vox Point Jawa Barat beberapa waktu lalu, Sabtu (3/9).
Oleh karena itu, Densus 88 saat ini menerapkan preventive justice terhadap napi pelaku teror dengan harapan bisa menghilangkan paham radikalisme dan ideologi terorisme dari lingkungan masyarakat.
Selain itu, lanjut Djoni, Densus juga menerapkan strategi kontra radikalisasi, baik itu kontra ideologi dengan menyanyikan lagu-lagu nasional, kontra propaganda maupun kontra narasi yang mengarah pada kebencian agama, terutama di dunia maya. Karena sebaran paham intoleransi dan radikalisme itu lebih banyak didominasi melalui dunia maya.
Stafsus Kementerian Agama, Zaman Nurzaman berpendapat semua umat beragama memiliki potensi melakukan kekerasan bagi kebebasan beragama. Sehingga diperlukan moderasi beragama.
“Moderasi beragama bukan hanya untuk umat beragama mayoritas tapi juga umat beragama di daerah-daerah yang menolak NKRI,” ujar Zaman.
Di sisi lain, ia melihat rumusan RKUHP juga belum memasukkan ideologi ekstrim kanan sebagai hal yang harus diwaspadai. Zaman mencontohkan Hizbrur Tahrir Indonesia (HTI) yang punya banyak track record melakukan kudeta di beberapa negara timur tengah.
“Persoalan radikalisme dan terorisme menjadi persoalan bangsa dan bukan hanya persoalan umat Islam,” tegasnya.
Lebih lanjut, Zaman menambahkan tahun 2024 diharapkan tidak ada lagi kampanye politik identitas.
Ketua Komisi HAK keuskupan Bandung, Romo Agus mengatakan, di setiap keusukupan dan KWI ada komisi HAK (hubungan antar-agama dan kepercayaan). Tugas komisi ini merajut kebangsaan dan merawat Indonesia.
“Dalam ajaran gereja (berdasar dokumen-dokumen gereja) sangat menghargai keberadaan agama-agama,” ucap Romo Agus.
Sementara itu, Ketua Studi Pancasila Universitas Parayangan (Unpar), Andreas Doweng Bolo menjelaskan sejarah lahirnya Unpar.
“Unpar memilih tanggal 17 Januari sebagai hari lahir karena dari awal sudah mendukung semangat kebangsaan dan NKRI,” tutur Andreas.
UNPAR, lanjut dia, mulai bisa menerbitkan ijazah secara otonom sejak tahun 1961 yang langsung diresmikan oleh Presiden Soekarno.
Menurut dia, toleransi sebetulnya masih banyak ditemukan di masyarakat akar rumput. Hal ini berdasarkan pengalaman kunjungannya bersama mahasiswa ke daerah-daerah.