Menurut Prof Tholabi, yang juga Ketua Forum Dekan Syariah dan Hukum PTKIN se Indonesia, salah satu kunci peningkatan arsitektur kesehatan global adalah ihwal ruang akses dan informasi data. Melihat pengalaman awal Covid-19, distribusi informasi dan data yang tidak merata justru menjadi penghambat penanggulangan pandemi. Tholabi mencontohkan, “Saat itu data sekuens genom hanya dapat diakses oleh Moderna, dan BioNTech. Padahal, data tersebut dibutuhkan banyak negara sebagai bagian mitigasi, termasuk pembuatan vaksin”.
Tak hanya soal pandemi, di Indonesia, ketidakcocokan alias diskrepansi data kerap terjadi antarkementerian dan lembaga. Tak jarang ditemukan beberapa kementerian atau lembaga memiliki datanya masing-masing untuk satu hal yang sama. Prof Tholabi mencontohkan terkait data prevalensi anak merokok (10-18 tahun) yang dimiliki oleh Kementerian Kesehatan dan Badan Pusat Statistik. Tentunya, hal ini berpotensi mengaburkan fokus dan arah kebijakan terkait akibat dari anomie atau ketidakpastian yang timbul karena rancunya data yang dapat dijadikan rujukan. Padahal, suatu kebijakan, terutama yang berkaitan dengan orang banyak, sepatutnya dibuat dengan basis data yang solid.
“Polemik soal data kerap menjadi perdebatan klasik. Jika dirunut, akar persoalannya juga masih sama, yakni soal ego sektoral yang pada akhirnya berdampak pada beragamnya varian data yang dirilis oleh masing-masing lembaga pemerintahan. Implikasinya, data-data yang berbeda dapat menghasilkan tafsir yang berbeda-beda dengan implikasi kebijakan yang berbeda pula,” sambung Prof Tholabi yang juga aktif dalam APHTN-HAN.