Refleksi Kebijakan Maritim Indonesia Tahun 2022, Pengamat Maritim: Eskalasi ZEE Indonesia Semakin Perlu Perhatian Serius Pemerintah

oleh
oleh

Oleh sebab itu, sudah saatnya Indonesia fokus kembali ke maritim. “Saya mengusulkan, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, tidak berlebihan bila memposisikan laut menjadi pusat pemecahan dari berbagai persoalan bangsa Indonesia seperti pengentasan kemiskinan, penurunan angka pengangguran hingga pada persoalan kelaparan,” katanya.

Untuk mewujudkan itu dibutuhkan kerjasama antara semua pihak, baik pemerintah pusat dan daerah. “Disini saya juga ingin menegaskan bukan hanya hasil tangkapan yang melimpah jadi perhatian. Tapi untuk sarana pendukung juga dibutuhkan, contohnya pelabuhan terpadu untuk perikanan tangkap. Di pelabuhan perlu juga dibangun pabrik pengolahan ikan, sehingga hasil ikan dapat langsung diolah. Dibutuhkan juga Gudang Penyimpanan Ikan berpendingin (Cold Storage) untuk menjaga kesegaran ikan sebelum sampai ke konsumen. Dan penting juga perlu dipikirkan pengadaan kapal penampungan(ship to ship) hasil tangkapan nelayan di tengah laut,” jelas Capt. Hakeng.

Nasib Nelayan 

Sumber daya kelautan yang dimiliki Indonesia berlimpah antara lain, perikanan tangkap dan perikanan budi daya. Akan tetapi kekayaan sumber daya kelautan yang berlimpah itu, belum sepenuhnya dapat dinikmati nelayan bahkan belum mampu mengangkat nasib nelayan Indonesia. 

“Berdasarkan laporan, ada beberapa masalah yang seringkali menghadang nelayan Indonesia. Salah satu masalah yang sering dikeluhkan para nelayan mengenai persoalan ketersediaan bahan bakar solar subsidi. Ada dugaan masih ada pihak yang seharusnya tidak memanfaatkan solar subsidi tapi menggunakannya. Sehingga nelayan kecil terkena imbas dimana solar subsidi yang dibutuhkan tak ada lagi,” sebut Sekjend Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Maritim (FORKAMI) ini.

Hal lain yang saat ini sedang menjadi perdebatan terkait penerapan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 85/2021. 

“Peraturan tersebut dinilai memberatkan nelayan. Karena ketentuan naiknya besaran tarif PNBP kepada nelayan menjadi sekitar 5-10 persen. Padahal Aturan sebelumnya yakni PP Nomor 62 tahun 2002 mengatur kategori kapal kurang dari 60 GT hanya dikenakan tarif 1 persen. Kemudian di PP Nomor 75 Tahun 2015 naik menjadi 5 persen dengan kategori kapal kecil 30-60 GT. Dan di aturan terbaru, PP Nomor 85 Tahun 2021, ketentuan ini justru diperluas menjadi kapal dengan ukuran 5-60 GT dikenakan tarif 5 persen untuk PNBP. Hal tersebut patut diduga telah membuat para Nelayan tradisional menjadi enggan melaporkan hasil tangkapan mereka dan mengakibatkan data hasil tangkapan para nelayan tradisional menjadi tidak akurat,” ungkap Capt Hakeng.

Capt. Hakeng menyoroti pula rencana dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang ingin memberlakukan sistem kontrak dengan memprioritaskan kuota bagi nelayan kecil. Penangkapan ikan terukur dengan sistem kontrak kuota hanya bisa dirasakan manfaatnya oleh perusahaan kapal besar di di sejumlah Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP).

“Rencana kuota ini dikhawatirkan tidak dapat berjalan untuk nelayan kecil.  Karena nelayan-nelayan kecil atau tradisional belumlah memiliki modal yang kuat serta tidak memiliki ketersediaan kapal-kapal yang sesuai dengan kontraknya. Oleh sebab itu, Pemerintah harus segera memperhatikan nasib nelayan Indonesia yang kurang sejahtera dari taraf hidupnya. KKP dapat memberikan alternatif cara pembiayaan usaha perikanan tangkap yang mudah untuk diakses kepada nelayan kecil di Indonesia,” tegas Capt. Hakeng.

Perlindungan Hukum Bagi Pelaut Indonesia 

Perhatian dan perlindungan hukum bagi para penyumbang devisa negara yakni Pelaut Kapal Niaga ataupun Pelaut Perikanan masih dirasakan kurang. Hal itu dapat dilihat dengan masih banyak perlakuan kurang adil yang diterima oleh Pekerja Migran Indonesia terutama yang bekerja sebagai Pelaut Perikanan (PMI PP) yang bekerja di atas kapal penangkap ikan berbendera asing.

No More Posts Available.

No more pages to load.