Pada hari Senin 16 Oktober 2023, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan Perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Putusan MK itu menyebutkan capres-cawapres yang pernah terpilih melalui pemilu, baik sebagai DPR/DPD, Gubernur, atau Walikota dapat mencalonkan diri meskipun belum berusia 40 tahun.
Putusan MK tersebut memancing kegaduhan luar biasa di tengah Masyarakat menjelang “hajatan demokrasi” pada tahun 2024 di Indonesia. Berbagai tanggapan pro dan kontra pun bermunculan dari berbagai kalangan, ahli hukum, politisi, masyarakat awam dan akademisi. Bahkan karena keputusan itu pulalah dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pada Selasa (24/10). Dimana tujuannya untuk mengusut dugaan pelanggaran kode etik para hakim terhadap putusan MK terkait usia capres-cawapres yang disebut sarat kepentingan.
Marcellus Hakeng Jayawibawa, Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, mengutarakan pandangannya terkait putusan MK tersebut. “Terlepas dari semua pro dan kontranya, Saya berharap semua kita dapat memahami dan menerima putusan MK atas permohonan yang diajukan oleh Mahasiswa Universitas Surakarta Almas Tsaqibbirru dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dimana dalam putusan tersebut, MK mengabulkan sebagian permohonan yang menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu),” kata Marcellus.
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut tidak dapat dibatalkan. “Putusan MK pada dasarnya bersifat final dan langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada lagi upaya hukum yang dapat ditempuh. Selain bersifat final dalam putusan MK mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding) seperti yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi,” ungkapnya.