Hati saya campur aduk, takut mati, karena saat menunduk itu, saya masih tersadar pistol diarahkan ke kepala saya.
Saya berpikir, jangan-jangan ini GAM.
Saya dan bang Ersa serta lain nya dibawa ke tengah kampung jauh.
“Kamu dari mana!?” bentak salah satu anggota kelompok bersenjata, “Saya dari Jawa “ jawab saya sambil lemas badan.
“Wah Jawa, besok pagi mati nih. Kompeni nih.” “Pasti Pai (TNI.red) itu. Mata-mata tentara,” teriak mereka bersahutan. Mendengar ancaman itu, saya hanya bisa pasrah.
Berbekal kamera besar di tangan, kelompok bersenjata itu percaya kalau kami wartawan.
Di tempat lain, Panglima Perang GAM, Teuku Ishak Daud meminta bawahannya untuk merawat dan menjaga keselamatan kami. Mendengar itu, Ersa dan saya mengaku lega. Tapi, hidup dalam penyanderaan baru saja dimulai.
“Kami selalu pindah-pindah demi hindari kejaran TNI. Kalau dirasa tidak aman, kami harus lewati semak, seberangi sungai dan hutan belantara,”
Tidur beralaskan tikar, berbaring di samping macan kumbang harus kami lalui. Beruntung, tidak ada hewan buas yang menyerang kami.
“Bahkan orang GAM menanawarkan kami tidur di alas ular itu. Sempat bergidik sih, tapi dia bilang jangan takut. Ternyata tidak apa-apa,”
Negosiasi Buntu, Malam Tragis Bagi Ersa
Di luar sana, sejumlah LSM, organisasi pers hingga palang merah internasional meminta agar saya dan Ersa Siregar dibebaskan.
Hampir setahun lamanya, negosiasi pembebasan antara pemerintah Indonesia dan GAM selalu mengalami deadlock. Hingga ada suatu kesepakatan yang kami dengar melalui siaran radio local. Saya senang karena akan segera mendapatkan kebebasan. Sebuah impian selama berbulan-bulan untuk kembali berkumpul bersama istri dan anak pun mengalir deras dalam pikiran.
Tapi, mimpi itu kembali tertunda.
Malam hari menjelang tewasnya Ersa, beberapa anggota GAM memutuskan turun gunung. Tak lupa, mereka meninggalkan empat pucuk senjata. Bahkan, menawari kami berdua memegang senapan tersebut, tapi ditolak sama saya.
“Kalau bisa gunakan senjata, pasti kami sudah tembak kalian,” canda saya saat itu.