Akan tetapi PP 58/2023 tentang Tarif dan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi, penerapan iuran dana pensiun menjadi berbeda secara administratif akibat penerapan TER (Tarif Efektif Rata-rata) sebagai metode baru untuk menghitung PPh 21. Untuk itu, ada baiknya iuran dana pensiun )termasuk DPLK) “dikembalikan” seperti semual, menjadi variabel pengurang pajak. Saat ini, peserta DPLK sulit diajak untuk menambah “iuran sukarela” dikarenakan penerapan TER tersebut. Bila dana pensiun itu baik untuk pendanaan jangka Panjang dan hari tua orang Indonesia, tentu insentif perpajakan harus menjadi “pemantik yang menarik” bagi peserta. Bukankah peserta dana pensiun sudah “menundak kenikmatan hari ini untuk masa pensiunnya”? Maka peserta dana pensiun sangat layak mendapat insentif pajak secara langsung daripada mengumbar perilaku konsumtif, tanpa kejelasan keuangan di hari tua.
Faktanya, 7 dari 10 pensiunan di Indonesia hari ini mengalami masalah keuangan. Bahkan 9 dari 10 pekerja tidak siap untuk berhenti bekerja atau pensiun, Semuanya terjadi akibat tidak adanya dana yang cukup untuk membiayai kehidupan di hari tua atau saat tidak bekerja lagi. Jadi sangat pantas, peserta dana pensiun diberikan instentif perpajakan. Karena siapapun saat menjadi peserta DPLK berarti 1) telah mempersiapkan kepastian dana untuk masa pensiun, 2) punya hasil investasi yang optimal untuk hari tua, dan 3) sangat layak mendapatkan insentif pajak saat manfaat pensiun dibayarkan.
Dana pensiun, sejatinya bisnis yang sangat mulia. Karena siapapun menyetor iuran setiap bulan atau menabung hanya didedikasikan untuk masa pensiun, untuk hari tua saat tidak bekerja lagi. Memang sejahtera atau tidak di masa pensiun, tentu ada di tangan pekerja sendiri. Tapi pemerintah perlu mendorong kepesertaan dan aset kelolaan dana pensiun selalu tumbuh signifikan dari waktu ke waktu. Agar kerja YES, pensiun OKE. Salam #YukSiapkanPensiun.