Untuk mencapai tujuan tersebut, tambah Capt. Hakeng, pembangunan infrastruktur pelabuhan di Riau harus mengikuti pendekatan Port Connectivity and Integrated Maritime Development. Pelabuhan strategis seperti Dumai, Tanjung Buton, Pelabuhan RAPP Futong, dan Kuala Enok perlu diintegrasikan dalam satu sistem ekosistem logistik laut. Menurut Capt. Marcellus Hakeng, sinergi lintas sektor, dukungan regulasi, dan perencanaan spasial yang berbasis kajian kelautan adalah kunci utama keberhasilan.
“Lebih dari itu, konektivitas maritim yang efisien akan memperkuat posisi Riau dalam rantai pasok nasional dan internasional. Ini akan menjadikannya simpul logistik utama di wilayah barat Indonesia,” imbuh Capt. Marcellus Hakeng seraya menekankan bahwa revitalisasi visi maritim Saleh Djasit oleh Gubernur Abdul Wahid, bukan sekadar penghormatan simbolik. “Ini tentang membangun masa depan. Warisan ini perlu diwujudkan dalam proyek konkret dan terukur. Tidak ada waktu yang lebih tepat dari sekarang,” ujarnya.
Capt. Marcellus Hakeng mendorong agar pemerintah daerah, pemerintah pusat, sektor swasta, dan akademisi bersatu untuk membangun kembali fondasi maritim Riau. Dalam era ketika dunia menyoroti potensi blue economy, inisiatif seperti Riau Maritime Corridor adalah jawaban nyata bagi transformasi ekonomi yang berkelanjutan.
“Laut adalah masa depan. Riau punya semua syarat untuk menjadi pusat kekuatan ekonomi berbasis maritim. Yang dibutuhkan sekarang hanyalah kemauan politik dan komitmen kolektif untuk mewujudkannya ini,” ujar Capt. Marcellus Hakeng, seraya mengingatkan bahwa dengan momentum yang tepat dan dukungan lintas sektor, Riau berpeluang menjadi poros ekonomi laut yang tidak hanya melayani kepentingan lokal dan nasional, tetapi juga strategis di kawasan Asia Tenggara.