Efisiensi anggaran tentu bukan sebuah kesalahan. Tetapi dalam konteks ekonomi lokal, belanja pemerintah khususnya dalam bentuk pelatihan, seminar, dan pertemuan selama ini justru menjadi penggerak vital. Di luar sektor formal, kegiatan MICE turut menghidupkan UMKM: katering lokal, penyedia dekorasi, pengemudi transportasi wisata, hingga pemilik warung di sekitar hotel.
Apa yang terjadi kini adalah paradoks. Di satu sisi negara ingin berhemat, di sisi lain pengurangan belanja tersebut mengempiskan denyut ekonomi riil yang baru saja mulai pulih pasca-pandemi. Efisiensi yang tidak disertai pendekatan smart spending justru bisa memperlambat pemulihan sektor-sektor kunci.
Adaptasi: Jalan Menuju Nafas Panjang
Namun seperti lazimnya sektor jasa di Indonesia, dunia perhotelan tidak tinggal diam. Di sejumlah daerah, hotel mulai mencari pasar baru. Beberapa beralih menjadi ruang kerja bersama, membuka paket wedding mini, atau menyasar komunitas hobi. Di Bandung, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata bersama PHRI menggelar event “Bandung Food Rally” dan fun bike sebagai pengganti agenda pemerintah yang tertunda.
Digitalisasi pun terus didorong. Mulai dari pemesanan otomatis, promosi daring, hingga kampanye staycation bertema kesehatan, budaya, dan edukasi. Bahkan sejumlah hotel kini menyiapkan paket wisata edukatif bagi sekolah dan komunitas, sebagai diversifikasi pendapatan.
Namun semua upaya ini belum cukup tanpa dukungan kebijakan. “Kami berharap ada solusi transisi, bukan pemotongan mendadak. Misalnya dengan relaksasi aturan penggunaan anggaran daerah agar tetap bisa menggunakan fasilitas lokal,” kata Ketua PHRI Kota Yogyakarta.