80 Tahun Berjuang dan Perjalanan Menuju Kemerdekaan Sejati, Refleksi Pidato Kebangsaan Presiden Prabowo Subianto

oleh
oleh

Ketiga, alokasi anggaran besar pada sektor pendidikan dan kesehatan memang sejalan dengan mandat konstitusi, namun ironi bahwa anggaran yang besar tersebut ternyata juga di isi oleh anggaran untuk MBG, selain itu penulis menilai pemerintah masih belum cukup serius membenahi kualitas guru, tenaga kesehatan, serta kesenjangan fasilitas antara kota dan desa. Semangat UUD 1945 yang menekankan keadilan sosial belum sepenuhnya terwujud jika layanan pendidikan dan kesehatan tetap timpang antara pusat dan daerah.

Keempat, hal yang perlu disorot ialah aspek lingkungan hidup. Presiden memang menyebut soal penanganan tambang ilegal. Namun, pernyataan tersebut terlalu normatif dan belum menunjukkan langkah nyata. Maka, yang menjadi pertanyaan besar ialah bagaimana konsistensi pemerintah dalam menjaga amanat UUD 1945 pasal 33—yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat—masih dipertanyakan, mengingat praktik eksploitasi sumber daya yang kerap lebih menguntungkan investor besar daripada rakyat.

Berkenaan dengan UUD 1945 sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden bahwa UUD 1945 merupakan peninggalan Founding Fathers yang sangat relevan dengan Indonesia saat ini, namun pertanyaan besar terkait relevansi ialah bagaimana gagasan yang termaktub di dalam UUD 1945 dapat diterjemahkan dalam kebijakan yang nyata. Sejarah amandemen UUD 1945 antara tahun 1999–2002 memperlihatkan bagaimana perubahan konstitusi dapat memperbaiki aspek demokrasi prosedural, tetapi sekaligus melahirkan problematika baru, seperti fragmentasi kekuasaan dan lemahnya sistem presidensial karena tersandra procedural oleh Lembaga lain. Dengan demikian, mengembalikan UUD 1945 pada “roh aslinya” sebagaimana sering disuarakan oleh Presiden, perlu dipertanyakan secara kongkrit, apakah yang dimaksud adalah kembali ke teks sebelum amandemen, ataukah memperkuat hasil amandemen dengan penafsiran konstitusional yang konsisten?

Di tengah semangat besar menyongsong Indonesia Emas 2045, pidato kenegaraan Presiden Prabowo menjadi panggung penting untuk menampilkan visi dan janji pemerintah. Namun, pidato hanyalah titik awal; yang jauh lebih penting adalah keberanian untuk mewujudkan kata-kata menjadi aksi nyata (bukan omon-omon), serta kesediaan untuk menerima kritik sebagai bagian dari proses demokrasi yang sehat. Di usia 80 tahun kemerdekaan, Indonesia tak cukup hanya merayakan pencapaian, tetapi harus dengan jujur mengakui tantangan dan ketimpangan yang masih ada. Maka, suara kritis dari rakyat, terutama dari pemuda, bukanlah bentuk perlawanan, melainkan wujud cinta dan tanggung jawab terhadap masa depan bangsa.

Dalam hal ini, kita bisa bercermin dari perjalanan Monkey D. Luffy dalam One Piece, yang sepanjang hidupnya memperjuangkan satu hal: kebebasan sejati. Luffy tidak tertarik pada tahta, kekuasaan, atau gelar. Ia berlayar, melawan ketidakadilan, dan membebaskan banyak negeri bukan karena ambisi politik, tetapi karena dorongan moral untuk memastikan setiap orang bebas menjalani hidupnya tanpa ditindas atau dikekang. Sama halnya dengan bangsa ini—kemerdekaan bukan hanya simbol dan seremoni, tetapi perjuangan terus-menerus untuk membebaskan rakyat dari belenggu ketimpangan, korupsi, kesenjangan pendidikan, dan eksploitasi sumber daya.

No More Posts Available.

No more pages to load.