Meski gagasan ini terdengar menarik, Andy tidak menutup mata terhadap tantangan yang akan muncul. Salah satunya adalah bagaimana memastikan dana sukarela itu benar-benar dikelola secara transparan dan digunakan tepat sasaran. Tanpa mekanisme yang jelas, partisipasi sukarela berpotensi menimbulkan keraguan.
Karenanya, Andy menyarankan agar pemerintah menyiapkan suatu wadah resmi bisa berupa lembaga khusus atau program nasional yang bertugas mengelola kontribusi sukarela dari kelompok ekonomi atas. Lembaga ini harus diaudit secara berkala dan hasilnya dipublikasikan secara terbuka agar masyarakat, terutama para donatur, memiliki kepercayaan penuh.
“Kalau dikelola transparan, saya yakin partisipasi itu akan datang. Banyak orang kaya yang sebenarnya peduli, tapi mereka ragu karena takut dana yang disumbangkan tidak jelas ke mana larinya,” katanya.
Ajakan Moral di Tengah Ancaman Krisis
Dalam konteks yang lebih luas, gagasan Andy sejatinya merupakan ajakan moral. Ia ingin membangkitkan kesadaran bahwa bangsa ini hanya bisa bertahan menghadapi badai ekonomi bila seluruh elemen masyarakat mau bergandengan tangan. Tidak hanya rakyat kecil yang menanggung beban lewat kenaikan harga kebutuhan pokok, tetapi juga para elit yang memiliki kemampuan finansial lebih.
“Ini semua bisa dilakukan atas dasar kesadaran yang tidak dipaksa, demi negara yang dicintai,” pungkas Andy.
Gagasan ini mungkin terdengar sederhana, bahkan idealis. Namun di baliknya tersimpan pesan kuat bahwa dalam kondisi sulit, keikhlasan dan solidaritas menjadi modal sosial yang tak ternilai. Apalagi di tengah globalisasi ekonomi yang serba materialistis, ajakan untuk kembali pada nilai-nilai keikhlasan justru bisa menjadi oase yang menyejukkan.