Peringatan Hari Maritim Nasional yang jatuh setiap tahun selalu menghadirkan perdebatan tentang tanggal yang dianggap paling tepat untuk dijadikan acuan. Sebagian kalangan menilai 21 Agustus 1945, ketika rakyat pesisir bergerak merebut kapal-kapal Jepang pasca proklamasi, adalah momentum yang layak dikenang. Sementara pihak lain berpegang pada 23 September 1963, saat Presiden Soekarno menetapkan tanggal itu secara resmi melalui Keputusan Presiden.
Perdebatan ini kerap muncul ke permukaan, namun menurut DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, pengamat maritim dari IKAL Strategic Center (ISC), keduanya tidak perlu dipertentangkan. Justru, kata dia, kedua momentum itu bisa saling melengkapi dalam membangun kesadaran maritim bangsa.
“21 Agustus memberi teladan tentang keberanian rakyat, sementara 23 September memberi kerangka kebijakan negara. Jika keduanya digabungkan, maka lahirlah narasi besar, bahwa negara hadir untuk melanjutkan perjuangan rakyat pesisir,” ujar DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, di Jakarta, Rabu (21/8/25).
Lebih lanjut, Capt. Hakeng menekankan bahwa nelayan pada masa awal republik telah menunjukkan pengorbanan luar biasa. Mereka mempertaruhkan nyawa, merebut kapal, menjaga pelabuhan, dan menguasai laut ketika negara belum memiliki pertahanan resmi. Kini, menurutnya, giliran republik yang harus mengorbankan kebijakannya demi nelayan. “Dulu mereka berdiri di garda depan, maka sekarang mereka seharusnya menjadi pihak yang paling merasakan manfaat dari pembangunan maritim,” tegasnya.
Namun, kenyataan menunjukkan hal sebaliknya. Nelayan hari ini justru sering menjadi kelompok paling rentan. Harga solar yang fluktuatif, ketergantungan pada tengkulak, serta minimnya akses teknologi membuat kehidupan mereka kian berat. Situasi ini semakin sulit dengan dampak perubahan iklim yang membuat pola tangkapan ikan tak menentu.
Sementara itu, kapal-kapal besar, baik milik nasional maupun asing, justru lebih leluasa mengambil keuntungan dari laut Indonesia. Ironi inilah yang menurut Capt. Hakeng mencerminkan paradoks besar, di mana mereka yang hidup paling dekat dengan laut justru berada paling jauh dari kesejahteraan.