Oleh: Junaidi Rusli
Gelombang ketidakpercayaan publik terhadap institusi kepolisian semakin deras. Berbagai survei menempatkan Polri dalam posisi yang rapuh, penuh kritik, dan sering kali dianggap gagal menjaga marwah sebagai penegak hukum. Kasus-kasus besar, mulai dari skandal korupsi, keterlibatan aparat dalam bisnis ilegal, hingga pelanggaran etik dan kekerasan berlebihan, memperkuat persepsi bahwa Polri kian jauh dari semangat reformasi 1998.
Dua hal yang paling mengemuka adalah lemahnya komitmen pemberantasan korupsi dan rapuhnya integritas kepemimpinan Polri. Di saat masyarakat menuntut keadilan dan ketegasan negara terhadap kejahatan kerah putih, aparat justru terlihat gamang, bahkan kerap terjebak dalam konflik kepentingan. Tidak heran, seruan agar Presiden mencopot Kapolri kini menjadi tuntutan publik yang makin menguat.
Segera Sahkan UU Perampasan Aset
Indonesia sudah terlalu lama menunda lahirnya UU Perampasan Aset Tindak Pidana. Padahal, regulasi ini sangat dibutuhkan untuk menutup celah koruptor dan mafia yang pandai menyembunyikan hasil kejahatan. Tanpa instrumen hukum ini, penegakan hukum hanya sebatas memenjarakan orang, bukan memiskinkan pelaku.
Keterlambatan pengesahan UU Perampasan Aset jelas menguntungkan segelintir elite. Korupsi terus berulang, kekayaan ilegal tetap aman diwariskan, sementara rakyat hanya bisa menanggung dampak berupa ketidakadilan dan stagnasi pembangunan. Pemerintah dan DPR harus segera menghentikan drama politik yang berlarut-larut dan menjadikan UU ini prioritas nasional.