Selain itu, stabilitas kebangsaan tidak bisa dilepaskan dari dimensi ekonomi. Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan: di satu sisi, ada dorongan kuat untuk mendorong pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi; di sisi lain, ada keresahan sosial akibat ketimpangan yang semakin nyata. Keputusan mengganti Menteri Keuangan akan sangat menentukan arah fiskal negara dalam menghadapi tantangan global: dari ancaman resesi, ketergantungan pada utang, hingga kebutuhan membiayai program-program sosial yang pro-rakyat. Jika pengganti Sri Mulyani gagal meyakinkan publik dan investor, stabilitas ekonomi bisa terguncang, yang pada gilirannya memperlemah stabilitas politik.
Implikasi dari perombakan ini ibarat dua sisi mata uang. Jika dijalankan dengan visi yang jelas, ia bisa menjadi momentum reformasi yang lebih nyata. Tetapi jika hanya menjadi kalkulasi politik jangka pendek, ia akan meninggalkan luka baru dalam perjalanan bangsa. Stabilitas politik kebangsaan tidak ditentukan oleh seberapa sering menteri diganti, melainkan seberapa konsisten pemerintah meletakkan rakyat sebagai pusat kebijakan.
Di saat Indonesia sedang mengalami gelombang protes politik yang luar biasa, dari kurun waktu 25 Agustus hingga saat ini, mengapa kemudian Presiden Prabowo terkesan lebih mengedepankan kepentingan segelintir elite dan partai, namun minim sumbangsih terhadap gelombang aspirasi rakyat? Padahal, ketika melihat status dan hierarki negara, tentu Presiden merupakan kepala eksekutif yang bisa membantu mendorong semua lembaga yang akhir-akhir ini menjadi sorotan publik, seperti legislatif.
Dengan dorongan dari Presiden sebagai kepala eksekutif, akan memudahkan realisasi tuntutan masyarakat seperti yang sedang ramai di media sosial dalam “17+8 Tuntutan”. Salah satu tuntutannya mungkin mengakhiri dan membatalkan kebijakan kenaikan tunjangan DPR RI yang fantastis dan mengesahkan RUU Perampasan Aset. Namun, dengan adanya kabar politik soal reshuffle lima menteri, publik dibuat bingung. Apakah ini langkah konstruktif Presiden untuk memberikan suasana politik yang lebih baik atau malah menjadi ancaman bagi politik kebangsaan itu sendiri?






