Ia menegaskan bahwa sistem pendidikan pesantren tidak dapat dinilai dengan standar pendidikan Barat yang menekankan aspek rasionalitas dan efisiensi. “Filosofi pendidikan pesantren berakar pada spiritualitas dan adab. Hubungan antara kiai dan santri adalah hubungan ruhani yang membentuk moralitas dan karakter, bukan sekadar relasi akademik,” jelasnya.
Sebagai praktisi pendidikan, Tholabi mengingatkan media untuk berhati-hati dalam menampilkan pesantren di ruang publik. “Media memiliki tanggung jawab sosial untuk mencerdaskan masyarakat, bukan menimbulkan salah paham. Prinsip cover both sides wajib diterapkan agar pemberitaan tetap berimbang dan beretika,” katanya. Ia juga mengimbau masyarakat agar tidak mudah terpengaruh oleh tayangan sensasional, tetapi melakukan tabayyun dan verifikasi.
Menjelang Hari Santri Nasional 22 Oktober, Tholabi memandang polemik ini sebagai momentum penting memperkuat literasi publik tentang pesantren. “Pesantren hari ini bukan lembaga tertinggal. Banyak santri yang berkiprah sebagai akademisi, profesional, dan pemimpin publik. Ini bukti pesantren adaptif sekaligus berakar kuat pada nilai keislaman,” ujarnya.