Satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menjadi momentum refleksi arah kebijakan publik Indonesia. Amnesty International Indonesia menilai, tahun pertama ini memperlihatkan upaya populisme, namun masih dibayangi oleh tantangan dalam penghormatan terhadap hak asasi manusia dan tata kelola demokratis.
“Jadi, klaimnya adalah kepentingan kalangan bawah, tapi sebenarnya substansinya membawa kepentingan elite,” ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dalam konferensi pers yang digelar bersama Public Virtue Research Institute tentang refleksi satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran di Jakarta, Senin (20/10/25).
Dalam catatan Amnesty, salah satu perhatian utama adalah menguatnya peran militer di sektor sipil. Revisi Undang-Undang TNI yang memperluas peran perwira aktif di jabatan sipil, pelibatan militer dalam proyek nonpertahanan, hingga rencana penambahan Komando Daerah Militer (Kodam) dinilai perlu dikaji secara hati-hati agar tidak mengikis prinsip kontrol sipil atas militer.
“Totalnya sekarang itu ada 22 Kodam. Pada tahun 2029 diperkirakan akan ada 37. Itu artinya seluruh provinsi berada di bawah kendali dan pengaruh militer. Dan itu menandai Indonesia bukan lagi negara demokratis,” ujar Usman.
Selain itu, Amnesty mencatat sekitar 15 tokoh militer kini menempati posisi strategis di kabinet, termasuk di lembaga nonpertahanan seperti Badan Gizi Nasional (BGN). Situasi ini, menurut Amnesty, perlu dikelola dengan prinsip profesionalisme agar tidak menimbulkan persepsi remilitarisasi kebijakan publik.
Program MBG