Oleh: Dr. Kemal H Simanjuntak, Konsultan dan Pemerhati Masalah Sosial dan Ekonomi
Di banyak negeri, gelar pahlawan memang terdengar seperti doa: harum, sakral, dan beraroma dupa kenegaraan. Tapi sejarah yang punya selera humor agak gelap sering mengangkat alis: “Benarkah semua pahlawan itu sesuci teks pidato?”
Kenyataannya, pahlawan kadang lahir bukan dari medan perang, tapi dari ruang rapat. Ia bukan hasil darah dan air mata, melainkan hasil tanda tangan dan lobi meja bundar. Dalam dunia politik, bahkan keberanian bisa punya surat keputusan.
Risiko kebenaran sejarah muncul ketika pahlawan menjadi proyek bersama antara memori dan kepentingan. Saat narasi negara, legitimasi kekuasaan, dan ingatan kolektif yang dipilih bersatu, lahirlah versi resmi dari “kebenaran” versi yang bisa berubah tergantung siapa yang berkuasa.
Dalam kondisi ini, sejarah bukan lagi cermin, melainkan catwalk tempat kekuasaan memamerkan busana moralnya. Siapa yang tampak gagah di masa kini, bisa jadi hanyalah aktor yang tampil pada saat yang tepat.
Begitu pula dengan pemanfaatan gelar pahlawan sebagai tunggangan politik dan ekonomi. Gelar bisa jadi seperti sertifikat warisan: dipajang di dinding kampanye, dipakai di baliho, dan dijual dalam narasi nasionalisme kilat. Ada yang memanfaatkan gelar itu untuk legitimasi kekuasaan, ada pula yang menjadikannya daya jual: “Lihat, saya cucu pahlawan, maka pilihlah saya.” Dalam pasar politik dan ekonomi, pahlawan kerap jadi merek dagang—semakin tinggi nilai historisnya, semakin laris pula penggunaannya.
Dan di Indonesia, sedikit contoh paling panas muncul ketika wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto kembali mencuat. Bagi sebagian orang, Soeharto adalah figur pembangunan: stabilitas, swasembada beras, dan jalan mulus yang katanya menuju kemakmuran. Namun bagi yang lain, ia simbol represi, korupsi, dan pembungkaman. Di sinilah sejarah menjadi arena tinju moral: satu pihak mengangkat jasa, pihak lain menyorot luka.
Masing-masing membawa dokumen, data, dan tentu—emosi.
Polemik itu memperlihatkan bahwa gelar pahlawan bukan sekadar penghargaan, tapi juga pernyataan politik: siapa yang ingin kita ingat, dan siapa yang ingin kita maafkan. Ketika nama Soeharto dibicarakan dalam konteks kepahlawanan, yang diuji bukan hanya sosoknya, melainkan kedewasaan bangsa ini dalam berdialog dengan masa lalunya. Apakah kita sudah bisa menimbang antara keberhasilan dan pelanggaran tanpa fanatisme? Ataukah kita masih mudah tergoda menjadikan sejarah sebagai alat pemutihan dosa kolektif?
Namun sejarah, meski sering disetir, punya cara sendiri untuk menertawakan manipulasi. Ia menunggu dengan sabar, mencatat siapa yang benar-benar berkorban dan siapa yang hanya berpose. Patung bisa roboh, nama jalan bisa diganti, tapi ketulusan tidak bisa dihapus dari memori rakyat. Karena sejatinya, pahlawan tidak perlu diresmikan untuk dikenang. Ia hidup dalam bisik rasa hormat yang jujur, bukan dalam gemuruh seremoni negara.
Maka, ketika gelar kepahlawanan diumumkan dengan drum dan spanduk, ada baiknya kita bertanya dengan senyum nakal: “Siapa yang sebenarnya sedang diabadikan—orangnya, jasanya, atau agenda di baliknya?” Sebab sejarah yang sehat tidak takut bercermin, bahkan pada wajahnya yang paling kusut. Dan bila suatu hari bangsa ini belajar tertawa pada kemegahan palsu, mungkin di situlah kita mulai benar-benar memahami arti kata “pahlawan.”






