Dia menekankan, bahwa justru yang harus disorot adalah bagaimana mekanisme pengawasan terhadap implementasi tarif batas atas dan batas bawah tersebut. “Aparat penegak hukum akan kesulitan melakukan pengawasan dan penegakan hukum jika terjadi pelanggaran,” ujarnya.
Untuk pelayanan, Tulus mengutarakan bahwa taksi online juga belum memberikan perlindungan kepada konsumennya jika terjadi kehilangan barang atau terjadi kecelakaan. “Bahkan jika terjadi sengketa keperdataan dengan konsumen akan diselesaikan via abritase di Singapura. Ini jelas tidak adil dan tidak masuk akal bahkan merugikan konsumen,” paparnya.
“Operator taksi online juga belum memberikan jaminan perlindungan data pribadi konsumennya. Bahkan dalam term of contract-nya, mereka bahkan akan menjadikan data pribadi konsumen untuk dishare ke mitra bisnisnya, misalnya untuk obyek promosi. Oleh karena itu, Kemenhub dalam revisinya Permenhub No 32/2013 seharusnya mengatur poin-poin tersebut. Bukan hanya mengatur soal uji kir, proses balik nama STNK, atau bahkan tarif,” tambahnya.
Lebih jauh dijelaskan, bahwa dalam konteks persaingan usaha, tidak boleh ada operator/pelaku usaha yang menerapkan kebijakan predatory tariff. Sebab predatory tariff akan membunuh operator yang lain sehingga mematikan operasi operator lainnya. “Oleh karena itu, pemerintah harus melakukan intervensi jika ada operator yang menerapkan predatory tariff,” paparnya.