Iklan Willie Horton itu menjadi sangat fenomenal. Bukan karena keberhasilannya dalam menjungkirbalikan posisi politik Bush sehingga membuat dia terpilih sebagai presiden, tetapi karena unsur rasialnya. Iklan ini memainkan emosi dan ketakutan tidak beralasan orang kulit putih terhadap kulit hitam.
Ia menguatkan semua prasangka yang memang sudah ada dan menyuburkannya. Ia mampu menghimpun orang kulit putih berbondong-bondong mencoblos (pemilihan bukan suatu kewajiban di Amerika).
Kampanye model ini tidak terjadi sekali dua kali saja. Hampir setiap periode pemilihan pasti diwarnai oleh kampanye hitam ini. Ada yang ditempuh dengan bisik-bisik, ada juga lewat bombardir iklan TV yang menyesatkan.
Ambillah contoh kampanye Senator John McCain pada tahun 2000. Saat kampanye penyisihan (primary campaign) untuk menjadi calon Partai Republik, McCain harus menghadapi tuduhan bahwa dia memiliki anak kulit hitam hasil hubungan gelapnya.
McCain memang memiliki putri angkat yang berasal dari Bangladesh. Pahlawan perang Vietnam ini memang sedang memperoleh momentum karena kemenangannya di New Hampsire. Lawannya adalah George W. Bush Jr, yang kemudian menjadi presiden.
Ketika pemilihan di South Carolina, McCain harus menghadapi tuduhan ini, yang disebarkan lewat selebaran dari rumah ke rumah. Inilah yang membuatnya terjungkal dan George Bush menjadi calon presiden dari Partai Republik.
Hal yang sama juga dialami John Kerry pada tahun 2004. Kerry, seorang veteran perang Vietnam, menerima medali the purple heart karena terluka di Vietnam.
Pada kampanye pemilihan presiden melawan George Bush, Kerry diserang lewat iklan kampanye oleh kelompok yang menamakan dirinya Swift Boat Veterans for Truth. Kelompok ini mempertanyakan medali yang diterima Kerry, terutama karena Kerry pernah bersaksi di depan Kongres tentang kekejaman tentara Amerika di Vietnam.
Para veteran, yang terluka atau yang pernah ditawan itu bertanya, ‘Jika Kerry tidak loyal terhadap kawan seperjuangannya, bagaimana dia bisa loyal terhadap negara?’
Ada satu hal yang juga penting digarisbawahi baik pada kampanye hitam ataupun kampanye negatif. Yang diserang bukan bagian yang lemah dari lawan politiknya.
Namun, justru yang paling kuat. Dukakis diserang karena kebijakannya yang ingin memperbaiki sistem ‘pemasyarakatan.’ Dia justru ingin sistem yang lebih manusiawi. McCain diserang karena integritasnya, baik sebagai mantan tawanan perang Vietnam, maupun karena sikapnya yang terus terang. Tuduhan memiliki anak dari hasil hubungan gelap adalah serangan yang paling fatal atas integritas dan kejujurannya. Kerry diserang, persis karena statusnya sebagai penerima medali purple heart.
Dia menjadi pengritik perang Vietnam. Posisi ini sebenarnya sangat populer di kalangan masyarakat Amerika. Namun, para ahli strategi di pihak Bush dengan buas mengeskploitasinya menjadi titik lemah Kerry, yakni dengan menghubungkannya dengan loyalitas terhadap kawan seperjuangan. Bush berhasil mengeksploitasi sentimen nasionalisme.
“Jokowi! Jokowi! Orangnya belum sunat!” Demikianlah celoteh anak-anak kecil yang didengar oleh sastrawan AS Laksana di dekat rumahnya. Tentu saja ini diucapkan sambil bermain.
Namun ada sesuatu yang serius di sini. Permainan anak-anak itu menjadi sebuah pertanda bahwa smear campaign (kampanye fitnah) yang dilancarkan oleh kubu lawan Jokowi itu bekerja dengan baik. Dia sudah sampai ke tingkat anak-anak. Jika para orangtua hanya mendengarnya lewat bisik-bisik, anak-anak meneruskannya menjadi pengumuman.
Yang jelas, kampanye hitam hadir dalam pemilihan presiden Indonesia 2014. Bahkan, dia hadir dalam skala yang tidak pernah terlihat sebelumnya.
Kampanye hitam lebih banyak ditujukan kepada kandidat Joko Widodo (Jokowi) ketimbang Prabowo Subianto. Mengapa? Ini karena problem berbeda yang dihadapi oleh kedua calon. Masalah utama yang harus dihadapi oleh Prabowo Subianto adalah data, terutama data sejarah yang berupa rekam jejaknya pada masa lalu.
Sementara, tantangan utama Joko Widodo adalah kampanye hitam baik dalam bentuk disinformasi, tuduhan rasial dan agama, maupun rekam jejak dalam kehidupan publiknya sebagai politisi.
Prabowo Subianto memiliki beban ‘data masa lalu’ yang cukup berat, yang mungkin tidak akan berhenti dipertanyakan, bahkan kalau dia terpilih menjadi presiden. Namun, di balik semua itu, Prabowo jelas figur yang lebih dikenal oleh publik Indonesia ketimbang Jokowi.
Jika Prabowo bagaikan sebuah buku novel, maka Jokowi bagaikan buku kosong yang perlu ditulis. Semua orang tahu akan sepak terjang Prabowo, mulai dari kakeknya, ayahnya, dan mertuanya (Suharto).
Juga rekam jejaknya sebagai perwira militer, tingkah lakunya dalam banyak kasus pelanggaran HAM, dan kehidupannya sesudah dipecat dari dinas militer.
Terlebih lagi, setelah ‘dipecat dengan hormat’ dari dinas militer, Prabowo menghabiskan hampir seluruh karirnya untuk berkampanye menjadi Presiden Republik Indonesia.
Sebaliknya, Jokowi adalah figur yang baru melejit ke publik selama dua tahun terakhir ini. Sebelum itu dia hanya dikenal di lingkup Surakarta, Jawa Tengah, di mana dia menjadi walikota.
Dia mulai mendapat perhatian luas dari publik saat dia mencalonkan diri untuk gubernur DKI Jakarta. Sejak saat itu, karir politiknya menanjak tajam. Namun, tidak banyak orang kenal siapa dia. Pengetahuan publik hanya terbatas pada apa yang dia kerjakan sebagai walikota Surakarta dan sebentar menjadi gubernur DKI Jakarta. Itulah sebabnya, Jokowi itu bagaikan buku kosong yang butuh untuk diisi tulisan. Di sinilah lawan dan sekutu politiknya berusaha untuk mengisi halaman-halaman buku itu.
Lawan dan kawan politik Jokowi berusaha memberikan definisi tentang siapa Jokowi sebenarnya.
Persis di titik itu kampanye hitam bekerja. Lawan-lawan Jokowi segera masuk mengisi ruang kosong ini. Persis seperti Lee Atwater memberikan kode rasial kepada pemilih Amerika tahun 1988, bahwa memilih Dukakis berarti memihak pada orang kulit hitam. Implikasinya adalah kriminalitas akan menanjak, dominasi orang kulit putih akan melemah, dan secara otomatis akan mengubah tatanan rasial yang sudah ada. Kampanye Lee Atwater memainkan ketakutan orang-orang kulit putih.
Hal yang sama berlaku untuk Jokowi. Lawan-lawan politiknya berusaha mendefinisikan Jokowi sebagai Kristen dan keturunan Cina.
Dia dituduh menyembunyikan identitas kekeristenan dan kecinaannya. Dalam kampanye fitnah tersebut, nama asli Jokowi adalah Herbertus Handoko Joko Widodo bin Oey Hong Liong (Noto Mihardjo). Foto Jokowi saat menikah beredar yang mengungkapkan bahwa dia adalah keturunan Cina yang menyembunyikan identitas sukunya (a closet Chinese).
Sementara itu juga beredar iklan dukacita, lengkap dengan aksara Cina. Iklan itu juga menginsinuasi bahwa Jokowi adalah Kristen keturunan Cina.
Kampanye hitam ini adalah fitnah (smear campaign) secara membabi buta. Jika kampanye hitam di Amerika pada umumnya ditujukan kepada orang kulit putih dan memainkan ketakutan rasial mereka, maka di Indonesia kampanye ini secara khusus ditujukan kepada kalangan Muslim. Kampanye ini memainkan perasaan kalangan Muslim Indonesia, terutama ketakutan akan dikuasai oleh Kristen.