Halangan psikologis berikut datang dari kubu PKB. Pertanyaan yang timbul, mungkinkah Muhaimin Iskandar bersedia menempati posisi orang nomer duanya Gatot.
Sulit membayangkan hal ini akan mendapat dukungan para pimpinan di PKB, juga para Kyai yang mendukung atau bersimpati pada PKB. Akan lain halnya bila Gerindra mengubah komposisi, dimana Gatot dipercaya untuk mengemban amanat Prabowo maju menggantikan dirinya. Dalam kaitan ini serta dengan legowo Prabowo hanya sebagai “King Maker”.
Sehingga kandidat menjadi hanya dua pasangan yang akan memperebutkan kursi nomor satu RI. Hal ini masih menyisakan kemungkinan Muhaimin berpikir ulang untuk menerimanya.
Apalagi ketika dalam Pilkada 2018, PDIP rontok di Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah, mengikuti DKI Jakarta dan Banten.
Mengapa hal ini bisa merangsang Muhaimin untuk mengubah pikiran? Karena dalam hitungan di atas kertas, dengan melemahnya PDIP di Pulau Jawa yang menjadi sumber utama pemasok suara terbesar pada setiap pilpres digelar, massa pendukung Jokowi bisa terancam kian mengecil jumlahnya.
Walau hasil pilkada bahkan pemilu tidak serta merta berbanding lurus dengan hitungan dalam putaran pilpres, setidaknya pengaruhnya pasti akan berdampak kurang menguntungkan bagi Jokowi. Sebaliknya, memperbesar peluang bagi lawan Jokowi, dalam hal ini pasangan Gatot-Muhaimin berpotensi memenangkan pertarungan Pilpres 2019.
Jadi, bila Gerindra dan Demokrat menutup pintu bagi mantan Panglima TNI ini, maka niat Gatot untuk maju pada Pilpres 2019 harus diurungkan dan menunggu putaran berikut di 2024. Dimana, AHY, Muhaimin, Puan Maharani, atau Budi Gunawan (?), diprediksi kuat akan maju pula memperebutkan kursi nomor satu RI.
Nah, bagaimana manuver Gatot pasca pensiun dari dinas ketentaraan dan kembali menjadi warga sipil yang berhak berpolitik secara penuh dan intensif? Kita tunggu saja tanggal mainnya langkah Gatot Nurmatyo mantan Panglima TNI yang sudah kerap keliling pesantren saat menjadi Panglima.