Polemik PKPU No.20 Tahun 2018, Putusan Bawaslu Sidang Adjudikasi Politisi Koruptor

oleh
oleh

Dalam diskusi saya dengan salah seorang anggota KPU DKI Jakarta, ada pertanyaan yang ditujukan kepada saya. Menurut anda, apakah tindakan KPU DKI Jakarta dengan men-TMS-kan M. Taufik melanggar aturan? Saya katakan, putusan KPU DKI Jakarta sudah betul.

Karena sebagai lembaga yang hierakis, KPU DKI Jakarta harus menjalankan PKPU.

Dalam PKPU tersebut, diatur Persyaratan Pengajuan Bakal Calon Pasal 6 ayat (1), Pimpinan Partai Politik sesuai dengan tingkatannya menandatangani dan melaksanakan pakta integritas pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.

Pertanyaan selanjutnya, apakah KPU DKI sudah melaksanakan PKPU ini (Pasal 6 ayat 1)? Menyodorkan pakta integritas kepada seluruh pimpinan partai politik di DKI Jakarta? Untuk bisa dilaksanakan dan dikontrol secara bersama-sama? Jika sudah, pastinya pakta integritas itu ada berkasnya di KPU DKI Jakarta, tentu dengan atas dasar itu bisa didorong bahwa pimpinan partai terkait telah wanprestasi.

Melalui pendekatan ini, KPU DKI Jakarta dapat melakukan tindakan hukum selanjutnya khusus terhadap partai terkait. Celakanya, jika hal ini tidak pernah ada. Berarti, KPU DKI Jakarta telah melanggar PKPU itu sendiri.

Memahami Perspektif Bawaslu
Pertanyaan yang paling mendasar adalah, mengapa Bawaslu mengabulkan permohonan pemohon (mantan terpidana korupsi) untuk diloloskan sebagai bacaleg? Dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar dan ayat (3) Negara Indonesia adalah negara hukum. Sehingga, basis argumentasi Bawaslu dalam memahami PKPU adalah memastikan semua warga negara yang memiliki hak politik (hak memilih dan dipilih), dapat tersalurkan haknya dalam mekanisme pemilu.

Biarkan rakyat yang berdaulat yang menentukan pilihannya. Kemudian, secara hukum, kita memiliki hierarki perundang-undangan, bahwa peraturan yang ada di bawah, tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang ada di atasnya.

Terkait dengan UU No 7 Tahun 2017, Pasal 182 tentang Peserta Pemilu DPD dan Pasal 240 tentang Persyaratan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kab/Kota, sama-sama di poin (g), “tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.”

Atas dasar inilah kemudian Bawaslu memutuskan lolosnya bacaleg mantan narapidana korupsi. Karena secara hierarki perundang-undangan, harusnya PKPU menurunkan aturan yang ada di UU Pasal 182 dan Pasal 240, bukan membuat aturan yang justru melampaui UU. Pencabutan hak politik (dipilih dan memilih) sudah diatur oleh UU dengan putusan pengadilan, Pencabutan hak politik diatur dalam Pasal 35 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, “bahwa hak-hak terpidana yang dapat dicabut dengan putusan hakim di antaranya hak memegang jabatan, hak memasuki angkatan bersenjata, serta hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum (pencabutan hak dipilih, karena ybs dianggap telah mengkhianati amanah yang pernah diberikan publik kepadanya)”.

Jadi, tidak boleh PKPU melampaui kewenangan UU dan putusan hakim terkait dengan pelarangan seseorang untuk memilih dan dipilih dalam pemilu.

Legalitas Putusan Adjudikasi Bawaslu
Pertanyaan selanjutnya, atas dasar apa Bawaslu memutuskan bahwa mantan napi korupsi lolos menjadi bacaleg? Dan berimplikasi memutus putusan KPU men-TMS-kan bacaleg tidak berlaku? Padahal hal itu sudah sesuai dengan PKPU, dan yang berwenang memutus PKPU itu sesuai atau tidak dengan UU adalah Mahkamah Agung (MA)?

Apakah Bawaslu telah melampaui kewenangannya?! Jika memang PKPU ini masih menunggu hasil Judisial Riview (JR) di MA, kenapa Bawaslu membuat putusan yang mendahului MA? Ini adalah pelanggaran terhadap norma hukum yang berlaku!.

Begitu banyak pertanyaan yang kemudian mengarah pada justifikasi bahwa Bawaslu salah kaprah. Lalu apa yang menjadi dasar putusan adjudikasi tersebut?

Begini jawabannya. Dalam UU Pemilu Pasal 93 poin (g), memang diatur bahwa salah satu tugas Bawaslu adalah mengawasi pelaksanaan putusan/keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Selain itu, dalam Pasal 95, salah satu wewenang Bawaslu adalah, menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemilu.

Menerima, memeriksa, memediasi atau mengadjudikasi, dan memutus penyelesaian sengketa proses pemilu dan memutus pelanggaran administrasi pemilu.

Tugas dan kewenangan inilah yang menjadi dasar bagi Bawaslu untuk kemudian memutuskan sengketa pemilu. Hal penting lainnya adalah, dalam Pasal 468, dijelaskan bahwa kerja-kerja penanganan sengketa pemilu oleh Bawaslu dibatasi oleh waktu, “memeriksa dan memutus sengketa proses Pemilu paling lama 12 (dua belas) hari sejak diterimanya permohonan”.

Tentunya, jika kita pahami UU Pemilu, pembatasan waktu adalah bagian dari upaya memberikan kepastian hukum secara efektif, karena dalam UU Pemilu ini diatur tahapan-tahapan pemilu yang juga ada batasan waktunya, dari satu tahapan ke tahapan yang selanjutnya.

Seperti apa langkah legal Bawaslu dalam memutus sengketa proses ini? Dalam Pasal 466, Sengketa proses pemilu meliputi sengketa yang terjadi antarpeserta pemilu dan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, Selanjutnya, dalam Pasal 467, Penanganan Permohonan Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu, Bawaslu menerima permohonan penyelesaian sengketa proses pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU yang disampaikan oleh calon peserta pemilu dan/atau peserta pemilu secara tertulis, dan paling sedikit memuat nama dan alamat pemohon, pihak termohon dan keputusan KPU yang menjadi sebab sengketa, yang disampaikan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal penetapan keputusan yang menjadi sebab sengketa tersebut.

Penyelesaian sengketa proses pemilu di Bawaslu yang diatur dalam Pasal 468, melalui tahapan: mempertemukan pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan melalui mediasi atau musyawarah dan mufakat. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang bersengketa Bawaslu menyelesaikan sengketa proses Pemilu melalui adjudikasi. Jadi, jika ada banyak Bawaslu provinsi dan kabupaten/kota menggelar adjudikasi sengketa proses pemilu dengan objek sengketa putusan KPU, dan dihasilkan putusan dalam waktu yang singkat, memang Bawaslu memiliki kewenangan untuk itu berdasarkan UU.

Bahkan menurut Pak Mahyudin, Koordinator Divisi Sengketa Bawaslu DKI Jakarta, “amanah UU Pemilu, menuntut kita untuk segera menggelar peradilan tercepat di dunia. Karena rujukan kita adalah UU, jika melewati batas waktu yang ditetapkan, berarti kita tidak amanah”.

Polemik Pasca-Putusan Bawaslu
Atas dasar bahwa yang berwenang menguji PKPU adalah MA, maka putusan Bawaslu yang berimplikasi menggugurkan putusan KPU yang berdasarkan PKPU tersebut, diacuhkan oleh KPU. Pada Senin, 3 September 2018, yang membuat semakin hangat isu ini adalah, statement Ketua KPU Arief Budiman, “KPU kan sudah mengatur dalam PKPU, kalau ada mantan terpidana (bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi) kami akan kembalikan. Kalau masih didaftarkan, kami akan menyatakan statusnya TMS. Karena PKPU ini sampai hari ini belum dibatalkan, sehingga kami selaku pembuat PKPU harus memedomani PKPU tersebut. Jadi kami meminta eksekusi terhadap putusan Bawaslu harus ditunda, sampai ada keputusan tentang PKPU dinyatakan sesuai UU atau tidak.”

Sekalipun demikian, Bawaslu tidak reaktif menanggapi statement tersebut. Karena pastinya hanya akan memperkeruh situasi. Dalam konteks ini, tentu perlu kita apresiasi sikap pimpinan Bawaslu. Padahal, jika kita pahami Pasal 469 ayat (1), Putusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa proses pemilu merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat, kecuali putusan terhadap sengketa proses pemilu yang berkaitan dengan (a) verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu; (b) penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; dan (c) penetapan Pasangan Calon. Terkait dengan putusan Bawaslu atas sengketa tersebut adalah penetapan Daftar Calon Sementara (DCS), artinya putusan itu bukanlah yang dikecualikan dalam UU No 7 Tahun 2017 tersebut, bukan?

Kemudian, pada ayat (2) diatur, Dalam hal penyelesaian sengketa proses pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c yang dilakukan oleh Bawaslu tidak diterima oleh para pihak, para pihak dapat mengajukan upaya hukum kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Mestinya, jika memang putusan Bawaslu tersebut tidak diterima, KPU bisa pengajukan upaya hukum di PTUN.

Dalam hal pengajuan upaya hukum ke PTUN, pada Pasal 471 ayat (2), dapat dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah dibacakan putusan Bawaslu. Ayat (3), dalam hal pengajuan gugatan kurang lengkap, penggugat dapat memperbaiki dan melengkapi gugatan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya gugatan oleh PTUN. Ayat (4), apabila dalam waktu sebagaimana dimaksud, penggugat belum menyempurnakan gugatan, hakim memberikan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima.

Jika mengacu pada putusan Bawaslu DKI Jakarta, Jumat pekan lalu, maka paling lambat pengajuan upaya hukum ke PTUN oleh KPU pada Jumat, 7 September 2018 (5 hari kerja setelah dibacakan putusan Bawaslu). PTUN memeriksa dan memutus gugatan paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak gugatan dinyatakan lengkap. Putusan PTUN bersifat final dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain.

Dan apa pun hasilnya, KPU wajib menindaklanjuti putusan PTUN paling lama 3 (tiga) hari kerja.

“Implikasi Negatif” terhadap KPU dan Bawaslu Pasal 12 poin (i) mengatur tugas KPU, yaitu menindaklanjuti dengan segera putusan Bawaslu atas temuan dan laporan adanya dugaan pelanggaran atau sengketa Pemilu. Pasal 15 poin (i) juga mengatur tugas KPU provinsi, melaksanakan putusan Bawaslu dan Bawaslu Provinsi. Kemudian, Pasal 20 Poin (j), KPU Kabupaten/Kota berkewajiban melaksanakan dengan segera putusan Bawaslu kabupaten/kota.

No More Posts Available.

No more pages to load.