Gubernus Anies Harus Desak KPK Tetkait Kasus Korupsi di DKI Jakarta

oleh
oleh

Data Korupsi Pemprov DKI

Data menyebutkan, kasus berawal ketika pada 2015 Pengguna Anggaran (PA), yakni kepala Dinkes yang kala itu dijabat Koesmedi Priharto, memberikan instruksi kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) agar merenovasi sejumlah fasilitas kesehatan milik Pemprov DKI. PPK lalu membuat perencanaan anggaran dan spesifikasi teknis yang dilakukan bersama perencana dinas agar masuk Daftar Pelaksanaan Anggaran (DPA).

“Pada tahap ini, dugaan untuk melakukan korupsi telah muncul, karena biaya per m2 tidak mengacu pada harga yang ditetapkan Permen PU Nomor 45/PRT/M/2007, dimana peraturan menteri ini menetapkan bahwa angka estimasi tertinggi untuk pembangunan gedung pemerintah adalah Rp3,9 juta/m2, sementara PPK dan Perencana Dinas menetapkan harga berdasarkan harga perkiraan sendiri (HPS) sebesar Rp 7 juta/m2, sehingga terjadi mark up Rp 3,1 juta/m2.

Penetapan HPS ini bertentangan dengan PP Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,” jelas Amir lagi.

Setelah harga ditetapkan, PPK melobi kontraktor, yakni PT NK, yang sudah dijadikan calon pemenang lelang, agar membuat perencanaan kasar, sehingga dapat mengikuti lelang yang telah dipastikan akan dimenangkan olehnya.

Setelah perencanaan kasar dibuat, perencanaan yang seakan-akan dibuat oleh tim lelang Dinkes tersebut diserahkan kepada Perencana Dinas, dan di-input dalam DPA, dilengkapi nilai nominal proyek yang besarannya juga seakan-akan mengacu pada Permen PU Nomor 45/PRT/M/2007.

Pada 2016, setelah anggaran lolos dibahas di DPRD dan masuk dalam APBD 2016, proyek renovasi 17 Puskesmas pun dilelang dengan sistem konsolidasi, sehingga saat PT NK memenangkan lelang tersebut, perusahaan ini memborong sekaligus ke-17 proyek renovasi tersebut dengan nilai kontrak mencapai Rp204,75 miliar.

“Tapi karena PT NK tidak memiliki sumberdaya yang cukup untuk menyelesaikan sendiri ke-17 proyek itu dalam satu tahun anggaran, PT NK lalu menunjuk PT A sebagai sub kontraktor,” imbuh Amir.

Paham bahwa proyek ini sulit diselesaikan PT NK tepat waktu, PPK tak kurang akal. Dia memilih metode kontrak dengan sistem Lump Sum dimana pekerjaan dalam bentuk paket, namun PPK hanya terima jadi berdasarkan paket yang dipilihnya. Namun meski sistem ini dipilih, PPK juga tidak menjelaskan bagaimana detil pengerjaan proyeknya, sehingga timbul tafsir bebas dari PT NK, sehingga timbul lagi potensi kerugian negara pada tahap ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.