Menurut dia, tuntutan itu salah alamat karena izin dikeluarkan oleh UPT Monas, sementara Gubernur hanya menyetujui. Sementara ijin keramaian itu ada pada Polda Metro Jaya dalam menjaga keamanan yang ada, apakah ijin keramian itu boleh atau tidak.
“Ketika saya menjadi penasehat penyelenggaraan Paskah di Monas yang dipimpin Pendeta Gilbert pada April 2018 lalu, kami mengajukan izin penggunaan Monas melalui UPT Monas. Ada sejumlah persyaratan yang haris dipenuhi jika ingin membuat acara di situ. Setelah semua persyaratan dipenuhi, dan kepala UPT menerbitkan izinnya dan kemudian disampaikan kepada Gubernur untuk disetujui,” katanya.
Aktivis senior ini mengaku heran pada tuntutan Jaga Indonesia, karena menurutnya, jika kepala UPT Monas telah menerbitkan izin untuk Reuni 212, itu berarti semua persyaratan telah dipenuhi.
“Lagipula Monas merupakan ruang publik dan siapa pun atau organisasi mana pun boleh membuat acara di situ selama dapat memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan,” katanya.
Aksi Jaga Indonesia diikuti puluhan orang. Dalam salah satu spanduk yang mereka gelar, para peserta aksi yang merupakan pendukung pemerintahan Jokowi itu menyatakan bahwa mereka menolak khilafah, menolak HTI dsn menolak Reuni 212.
Sementara Ketua Forum Garda Perawat Kebangsaan Andrew Paremgkuan menyatakan, aksi itu boleh saja Gubernur DKI Anies Baswedan dan UPT Monas mebetikan ijin, tapi mengenai terjadinya jaminan keamanan dan keramaian itu menjadi kewenangan pihak aparat.