Opini, sketsindonews – Paska Reuni 212 ada dua isu yang mencuat. Celakanya isu itu bukan penilaian positif terhadap reuni yang telah berhasil dihadiri oleh ribuan massa. Melainkan, pertama, berkembangnya isu tentang peliputan media massa yang sangat minim. Kedua, debat tentang jumlah massa yang kontradiktif, apakah berjumlah ribuan atau jutaan.
Kalau soal jumlah massa perdebatannya bisa diselesaikan secara rasional, tetapi soal mengapa media massa tidak melakukan peliputan maksimal, hal ini masih mengganjal dan terus berlanjut sampai saat ini.
Kenapa hal itu terjadi? Karena kita umumnya tidak atau belum memahami perkembangan karakter pers atau media massa secara kontemporer.
PERS BELA KEPENTINGAN UMUM DAN BUKAN KEPENTINGAN KELOMPOK
Pers (cetak) yang kredibel ini merupakan trend baru ketika muncul persaingan dengan media sosial/medsos (elektronik). Medsos saat ini merupakan manifestasi dari pers warga dalam membela kepentingan domestik warga atau komunitas kecil. Berangkat dari sini media massa mencoba fokus mengusung kepentingan kolektif non-domestik. Namun selain itu media massa cetak juga ingin lebih kredibel dengan tidak mempublikasikan kepentingan faksional dan partial.
Hal inilah yang melahirkan idealisme dalam tubuh pers dan insan pers, di balik tuduhan bahwa pers dikendikan oleh pemilik modal. Pers tidak lagiingin jadi tukang berita yang diperalat oleh sumber berita. Hal inilah yang melahirkan AJI (Asosiasi Jurnalis Indipenden) yang kritis terhadap mana kepentingan mayoritas dan mana kepentingan minoritas yang kental dengan motif politik. Atau ada kesadaran kritis pers untuk membedakan mana yang murni dan tidak murni, mana yang prorakyat dan anti rakyat, mana yang jujur dan rekayasa.
Kesadaran ini mengubah secara mendasar, sehingga integritas insan pers tidak lagi sekedar menjalankan 4 W + 1 H. Pers kendati milik publik dan salah satu pilar demokrasi, juga ingin berposisi berpihak pada kebenaran dan keadilan. Pendeknya era pers sebagai budak dalam pemberitaan sudah berakhir.
MENGHINDARI PENYIMPANGAN MORAL
Media massa sebenarnya ingin mengejar otentitas dan reabilitas berita. Hal ini sekaligus merupakan keinginan instrinsik pers untuk membangun kejujuran sebagai hal yang urgent. Karena informasi yang jujur dari masyarakat akan ditempatkan dalam peringkat tertinggi pemberitaan. Pers juga tidak mengurangi keterlibatan dalam merekayasa berita sekedar menjadi originator pemberitaan.
Di Amerika pada tahun 1970-an pers ingin meliput pertandingan basket yang sangat seru. Pers berkeyakinan akan ada baku hantam dan ada korban tewas di akhir pertandingan. Info awal sudah diterima, namun pers tidak melaporkan hal ini ke polisi.
Alih-alih melaporkan atau mencegah, pers justru ingin membiarkan dengan meliput secara live sampai ada korban meninggal. Mereka berpikir ini akan menjadi berita yang sangat menarik dan membuat medianya menjadi populer. Namun publik Amerika melaporkan hal ini ke pengadilan, karena pers telah melakukan pelanggaran moral (moral hazzard). Pers dinyatakan salah dan kalah dalam pengadilan.