Walaupun saat ini kebebasan pers sudah terwujud, namun di lain pihak justru menimbulkan kengerian di kalangan pers. Ada banyak delik aduan dan delik umum yang membayang -bayangi kerja insan pers. Apalagi dengan kondisi penegakan hukum dan lembaga peradilan yang bobrok.
Untuk setiap persoalan terkait informasi yang dianggap merugikan justru media massa yang dijadikan sasaran. Padahal pers mendapat informasi dari narasumber yang jelas. Namun adanya hak tolak menyebut identitas nara sumber itulah yang sering dipermasalahkan.
Masyarakat tidak puas walau telah diberi kesempatan melakukan hak jawab. Kantor redaksi bahkan digruduk dan dirusak oleh massa. Bahkan ada yang melakukan gugatan , namun dengan tujuan melakukan pemerasan terhadap pers.
Ketakutan lembaga peradilan dan juga adanya oknum di dalamnya yang korup, membuat pers menjadi korban dari ketidakadilan. Hal ini membuat pers harus lebih ekstra waspada terhadap informasi yang masuk. Akibatnya perlu dilakukan observasi yang membutuhkan waktu. Sedang pada saat observasi selesai, beritanya sudah basi.
Dalam hal Reuni 212 ,bisa dibayangkan akibatnya jika pers melakukan observasi terhadap jumlah massa yang hadir, kemudian menyiarkan dalam pemberitaan. Pers tentu akan babak belur dihakimi massa. Sedangkan massa sendiri telah menuduh dan priori terhadap media massa serta telah menempatkan dalam blok pro dan kontra. Bahkan ada poster-poster yang memprovokasi dan mengancam media massa yang dianggap telah berpihak.
PENTINGNYA NALURI DAN AKAL SEHAT
Penggunaan akal sehat atau _common sense_ sebagai modal dasar pemberitaan adalah sangat penting. Mungkin juga tidak cukup akal sehat, namun pemikiran ilmiah atau intelektual. Berita secara substansial harus ditelaah apakah hal itu logis dan benar menurut akal sehat. Sebelum dibongkar, banyak pemberitaan mengenai Dimas Kanjeng sang pengganda uang. Setelah dibongkar kasusnya, pers sadar bahwa penggandaan uang secara klenik adalah bohong.
Nara sumber jelaslah harus terpercaya, sehingga berita yang berasal darinya juga merupakan kebenaran. Kalau ada berita tentang seseorang yang menyatakan dirinya ketirunan orang-orang suci dan orang besar, pers wajib melakukan telaah. Karena berita yang benar bersumber dari narasumber yang dipercaya. Ini akan mencegah pers tidak larut dalam setting pemberitaan tertentu.
Di era sekarang kalau pers masih memberitakan tentang logika bahwa bumi datar, ini sangat masghul. Dari sinilah kini pers memilih pemberitaan yang investigatif. Beberapa media massa terkenal, tidak terburu-buru melakukanh pemberitaan sampai jelas duduk perkaranya. Mereka memilih terlambat memberitakan daripada terjebak dalam pemberitaan isu hoax.
Hal itu tidak berarti pers menolak memberitakan keburukan atau kebaikan, karena keduanya membantu pengambilan keputusan publik. Namun pers perlu menunggu sehingga satu informasi mendapat sedikit aseptibilitas dan keabsahan sosial dan politik. Saat ini memberitakan kelompok penganjur khilafah tentu tidak masuk akal karena konstitusi yang ada tidak memungkinkan. Kecuali lingkungan strategis sosial global memang cenderung menerima khilafah sebagai sistem kenegaraan.
Oleh: Sukmadji Indro Tjahyono